Kamis, 07 April 2011

Peran Kepala Sekolah Terhadap Mutu Pendidikan

Peran Kepala sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Di setiap organisasi posisi dan peran pimpinan selalu sangat sentral. Maju dan mundurnya organisasi sangat tergantung pada sejauh mana pimpinan mampu berimajinasi untuk memajukan organisasinya. Demikian pula dalam konteks sekolah sebagai organisasi, maka posisi kepala sekolah juga sangat penting dalam memajukan lembaga yang dipimpinnya. Bila mutu pendidikan di suatu sekolah hendah diperbaiki, maka kuncinya ada pada kepemimpinan yang kuat.

Kepala sekolah sebagai individu yang bertanggung jawab di sekolah mempunyai kewajiban untuk berusaha agar semua potensi yang ada di lembaganya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan yang diharapkan. Oleh karenya, kepemimpinan kepala sekolah menjadi salah satu faktor penting yang dapat mendorong sumber daya sekolah untuk mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah.

Untuk kepentingan tersebut, kepala sekolah harus mampu memobilisasi sumber daya sekolah, dalam kaitannya dengan perencanaan dan evaluasi program sekolah, pengembangan kurikulum, pembelajaran, pengelolaan ketenagaan, sarana dan sumber belajar, keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat dan penciptaan iklim sekolah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa peran kepala sekolah sebagai leader, harus memiliki beberapa kemampuan yang meliputi kemampuan baik dari segi kepribadian, pengetahuan terhadap tenaga kependidikan, visi dan misi sekolah, kemampuan mengambil keputusan dan kemampuan berkomunikasi.

Adapun menurut Wijono, tugas seorang kepala sekolah secara garis besar dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu administrasi material, administrasi personel dan administrasi kurikulum. Administrasi material adalah administrasi yang menyacup bidang-bidang material sekolah seperti ketatausahaan sekolah, keuangan, pergedungan, perlengkapan, dan lain-lain. Administrasi personel adalah administrasi yang mencakup administrasi keguruan, kemuridan, dan pegawai sekolah lainnya. Administrasi kurikulum adalah administrasi yang mencakup penyusunan kurikulum, pembinaan kurikulum dan pelaksanaan kurikulum. Kepemimpinan dan administratif pendidikan yang berhasil bagi kepala sekolah adalah diarahkan pada pengembangan aktifitas pengajaran dan belajar siswa.

Oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan tersebut tak lepas dari peran kepala sekolah sebagai pengelola dalam lembaga pendidikan. Adapun yang dimaksud dengan peran kepala sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan di sini adalah usaha-usaha yang dilakukan kepala sekolah untuk mencapai kemajuan dan kesempurnaan pendidikan yang dipercayakan kepadanya.
Berikut ini penulis akan uraikan tentang peran kepala sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan, yang meliputi perannnya sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator, dan motivator.

1. Kepala Sekolah sebagai Pendidik (Edukator)
Sebagai edukator, kepala sekolah bertugas untuk membimbing guru, tenaga kependidikan, peserta didik, mengikuti perkembangan iptek, dan memberi teladan yang baik. Dalam melakukan fungsinya sebagai edukator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolahnya. Menciptakan iklim sekolah yang kondusif, memberikan nasehat kepada warga sekolah, memberikan dorongan kepada seluruh tenaga kependidikan, serta melaksanakan model pembelajaran yang menarik, seperti team teaching, moving class dan mengadakan program akselerasi bagi peserta didik yang cerdas di atas normal.

Upaya yang dapat dilakukan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerjanya sebagai edukator, khususnya dalam peningkatan kinerja tenaga kependidikan dan prestasi belajar peserta didik adalah sebagai berikut: a) mengikutsertakan guru-guru dalam penataran, atau pendidikan lanjutan; b) menggerakkan tim evaluasi hasil belajar peserta didik; c) menggunakan waktu belajar secara efektif di sekolah, dengan cara mendorong para guru untuk memulai dan mengakhiri pembelajaran sesuai waktu yang telah ditentukan, serta memanfaatkannya secara efektif dan efisien untuk kepentingan pembelajaran; dan sebagainya.

2. Kepala Sekolah sebagai Manajer
Untuk melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk: a) memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerjasama atau kooperatif; b) memberi kesempatan kepada para tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya; dan c) mendorong keterlibatan seluruh yang menunjang program sekolah.

3. Kepala Sekolah sebagai Administrator
Administrasi merupakan suatu proses yang menyeluruh dan terdiri dari bermacam kegiatan atau aktivitas di dalam pelaksanaannya. Sebagai administator, kepala sekolah bertanggung jawab atas kelancaran segala pekerjaan dan kegiatan administratif di sekolahnya. Aktivitas administratif adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan pencatatan, penyusunan dan dokumentasi program dan kegiatan sekolah. Secara spesifik, kepala sekolah juga dituntut untuk mengelola kurikulum, mengelola administrasi sarana dan prasarana, mengelola administrasi kearsipan, dan mengelola administrasi keuangan.

4. Kepala Sekolah sebagai Supervisor
Supervisi juga dapat diartikan sebagai pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar dengan lebih baik sesuai dengan tujuan pendidikan. Kepala sekolah sebagai supervisior mempunyai peran dan tanggung jawab untuk membina, memantau, dan memperbaiki proses pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Supervisi kepala sekolah dapat dilakukan secara individual maupun kelompok.

Di antara tugas-tugas kepala sekolah sebagai supervisor adalah: 1) Membantu stafnya menyusun program; 2) Membantu stafnya mempertinggi kecakapan dan keterampilan mengajar; dan 3) Mengadakan evaluasi secara kontinyu tentang kesanggupan stafnya dan tentang kemajuan program pendidikan pada umumnya. Keberhasilan peran kepala sekolah sebagai supervisor antara lain dapat ditunjukkan oleh: 1) meningkatnya kesadaran guru dan staf untuk meningkatkan kinerjanya; dan 2) meningkatakan keterampilan guru dan staf dalam melaksanakan tugasnya.

5. Kepala Sekolah sebagai Leader
Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Untuk kepentingan tersebut, kepala sekolah harus mampu mempengaruhi dan menggerakkan sumber daya sekolah dalam kaitannya dengan perencanaan dan evaluasi program sekolah, pengembangan kurikulum, pembelajaran, pengelolaan ketenagaan, sarana dan sumber belajar, keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat, penciptaan iklim sekolah, dan sebagainya.

6. Kepala sekolah Sebagai Inovator
Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai inovator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada seluruh tenaga kependidikan di sekolah dan mengembangkan model-model pembelajaran yang inovatif. Peran kepala sekolah sebagai innovator akan tercermin dari cara-cara ia melakukan pekerjaannya secara konstruktir, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, keteladanan, disiplin, serta adaptabel dan fleksibel.

7. Kepala sekolah Sebagai Motivator
Sebagai motivator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberikan motivasi kepada para tenaga kependidikan dalam melakukan berbagai tugas dan fungsinya. Motivasi ini dapat tumbuh melalui pengaturan lingkungan fisik, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan, penghargaan secara efektif dan penyediaan berbagai sumber belajar melalui pengembangan pusat sumber belajar.



Rujukan:
1. Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur�an (Malang: Aditya Media Bekerja Sama dengan UIN Malang Press, 2004), 211.
2. Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-prinsip dan Tata Langkah Penerapan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 2.
3. E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik dan Implementasinya (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2003), 182.
4. Wijono, Administrasi Dan Supervisi Pendidikan (Jakarta: Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan, 1989), 18.
5. E. Mulyasa, M.Pd. 2003, KBK Konsep, Karakteristik dan Implementasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), hal., 103.
6. M. Daryanto, Administrasi Pendidikan (Jakarta:Rineka Cipta, 1989), 84; dan Suharsimi Arikunto, Organisasi dan Administrasi, (Jakarta: Grafindo Persada,1993), 154.
7. Sahertian, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan ( Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 112.
8. M. Moh. Rifai, Administrasi Pendidikan (Bandung: Jemmars, 1986), 161.



Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Pengertian Mutu Pendidikan

Program mutu sebenarnya berasal dari dunia bisnis. Dalam dunia bisnis, baik yang bersifat produksi maupun jasa, program mutu merupakan program utama sebab kelanggengan dan kemajuan usaha sangat ditentukan oleh mutu sesuai dengan permintaan dan tuntutan pengguna. Permintaan dan tuntutan pengguna terhadap produk dan jasa layanan terus berubah dan berkembang. Sejalan dengan hal itu, mutu produk dan jasa layanan yang diberikan harus selalu ditingkatkan. Dewasa ini, mutu bukan hanya menjadi masalah dan kepedulian dalam bidang bisnis, melainkan juga dalam bidang-bidang lainnya, seperti permintaan, layanan sosial, pendidikan, bahkan bidang keamanan dan ketertiban sekalipun.

Dalam dunia pendidikan, mutu adalah agenda utama dan senantiasa menjadi tugas yang paling penting. Walaupun demikian, mutu bagi sebagaian orang dianggap sebagai sebuah konsep yang penuh dengan teka-teki, membingungkan, dan sulit untuk diukur. Mutu memiliki presepsi yang berbeda-beda, disesuaikan dengan pandangan masing-masing orang. Para pakar pendidikan pun memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana cara menciptakan lembaga pendidikan yang bermutu dengan baik.
Mutu, secara umum dapat didefinisikan sebagai gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan. Arcaro (2007) memaknai mutu sebagai sebuah proses struktur untuk memperbaiki keluaran yang dihasilkan. Adapun menurut Edward Sallis (2008), mutu, khususnya dalam kontek Total Quality Management (TQM) adalah merupakan sebuah filosofi yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan.

Lebih lanjut Edward menyatakan bahwa mutu dapat dipandang sebagai sebuah konsep yang absolut sekaligus relatif. Mutu dalam percakapan sehari-hari sebagaian besar dipahami sebagai sesuatu yang absolut, misalnya restoran yang mahal dan mobil-mobil yang mewah yang mahal. Sebagai suatu konsep yang �absolut�, mutu sama halnya dengan sifat baik, cantik, dan benar, ini merupakan suatu idealisme yang tidak dapat dikompromikan. Dalam definisi yang absolut, sesuatu yang bermutu merupakan bagian dari standar yang sangat tinggi dan tidak dapat diungguli. Sedangkan mutu yang �relatif� dipandang sebagai sesuatu yang melekat pada sebuah produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Untuk itu dalam definisi relatif ini produk atau layanan akan dianggap bermutu, bukan karena ia mahal dan eksklusif, tetapi ia memiliki nilai misalnya keaslian produk, wajar, dan familiar.

Sedangkan Mutu dalam konteks pendidikan, pengertiannya meliputi input, proses, dan output pendidikan. Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Misalnya, sumber daya, perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedangkan sesuatu dari proses disebut output.

Dalam konteks pendidikan mikro (tingkat sekolah) yang dimaksud dengan proses adalah pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi. Sedangkan output pendidikan, adalah merupakan kenerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/prilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektifitasnya, produktifitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya serta moral kerjanya.


Rujukan:
1. Nana Syaodih Sukmadinata. Dkk, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah menengah: Konsep, Prinsip, dan Instrumen (Bandung: Refika Aditama, 2006), Hlm. 8
2. Anonim, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan/Kultur Sekolah, Depdiknas, Hand Out Pelatihan Calon Kepala Sekolah, (Jakarta: Direktorat Sekolah lanjutan Pertama-Depdiknas, 2002), 7.
3. Jerome S. Arcaro, �Quality in Education: an Implementation Handbook� diterjemahkan oleh Yosal Iriantara, Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-Prinsip dan Tata Langkah Penerapan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007), 75.
4. Edward Sallis, Total Quality Management In Education, (Manajemen Mutu Pendidikan) Alis Bahasa. Ahmad Ali Riyadi & Fahrurrozi. Yogyakarta. 2008. Cet; VII; halm: 33-53.


Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Rancangan Penelitian Studi Kasus

Studi kasus dapat diartikan sebagai: an intensive, holistic description, and analysis of a single instance, phenomenon, or social unit. Pengertian tersebut memberikan penjelasan bahwa pada dasarnya studi kasus adalah suatu strategi penelitian yang mengkaji secara rinci atas suatu latar atau satu orang subjek atau satu peristiwa tertentu.

Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni penyajikan pandangan subjek yang diteliti sehingga dapat ditemukan konsistensi internal yang tidak hanya merupakan konsistensi gaya dan konsistensi faktual tetapi juga keterpercayaan (trustworthiness). Dipilihnya studi kasus sebagai rancangan penelitian karena peneliti ingin mempertahan-kan keutuhan subjek penelitian. Peneliti juga beranggapan bahwa fokus penelitian kualitatif biasanya akan lebih mudah dijawab dengan desain studi kasus.

Studi kasus sendiri merupakan bagian dari penelitian kualitatif. Jadi, sebuah penelitian yang menggunakan studi kasus sejatinya hanya menggunakan desain atau rancangan studi kasus, adapun pendekatannya tetap mengacu pada pendekatan kualitatif. Alasan digunakannya pendekatan kualitatif sebagai pendekatan penelitian adalah karena peneliti melihat sifat dari masalah diteliti yang dapat berkembang secara alamiah sesuai dengan kondisi dan situasi di lapangan. Peneliti juga berkeyakinan bahwa dengan pendekatan alamiah, penelitiannya akan menghasilkan informasi yang lebih kaya.

Jadi, dipilihnya pendekatan kualitatif sebagai pendekatan penelitian karena peneliti berkeinginan untuk memahami dunia makna subjek penelitian secara mendalam. Rancangan penelitian dibuat sebagaimana umumnya rancangan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, yang umumnya bersifat sementara dan lebih banyak memperhatikan pembentukan teori substantif dari data empiris yang akan didapat di lapangan.

Untuk itu, desain penelitian dikembangkan secara terbuka dari berbagai perubahan yang diperlukan sesuai dengan kondisi lapangan. Hal ini penting untuk dijelaskan, mengingat penelitian kualitatif merupakan penelitian yang didesain dalam kondisi dan situasi alamiah (naturalistic) sehingga dapat ditemukan kebenaran dalam bentuk yang semurni-murninya tanpa mengalami distorsi yang disebabkan oleh instrumen dan desain penelitian. Karena instrumen dan desain penelitian cenderung mengkotak-kotakkan manusia dalam kerangka konsepsi yang kaku.


Rujukan dan Catatan:
1. Yesim Ozbarlas, Perspectives on Multicultural Education: Case Studies Of A German And An American Female Minority Teacher, A Dissertation, not Published (Atlanta: the College of Education in Georgia State University, 2008), 60.
2. Meski memungkinkan peneliti untuk memperoleh wawasan yang mendalam mengenai aspek-aspek perilaku manusia, studi kasus sering tidak mempunyai keluasan. Dinamika seseorang atau satu unit sosial tertentu mungkin tidak sama dengan dinamika seseorang atau unit sosial di tempat lain. Lihat Donald Ary, et.al., tanpa judul asli, diterjemahkan oleh Arief Furchan, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 449.
3. Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT. Remaja Rosdakaya, 2003), 201.
4. Keinginan ini sesuai dengan ciri khas dari studi kasus itu sendiri. Sifat khas dari studi kasus adalah tujuannya pada keinginan untuk mempertahankan keutuhan (wholeness) dari subjek. Artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi. Lihat Jacob Vredenbregt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1978), 34; dan M. Djunaidi Ghony, Metode Penelitian Pendidikan (Malang: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, 1996), 26.
5. Hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan Pamela Baxtera bahwa: �A case study design should be considered when: (a) the focus of the study is to answer �how� and �why� questions; (b) you cannot manipulate the behaviour of those involved in the study; (c) you want to cover contextual conditions because you believe they are relevant to the phenomenon under study; or (d) the boundaries are not clear between the phenomenon and context�. Pamela Baxter, et.al., �Qualitative Case Study Methodology: Study Design and Implementation for Novice Researchers� http://www.nova.edu/ssss/QR/QR13-4/baxter.pdf (diakses pada 17 September 2008), 545.
6. Stauss mengidentifikasi pendekatan kualitatif sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik dan bentuk hitungan lainnya. Terkait alasan penggunaan pendekatan ini, Stauss mengatakan bahwa banyak alasan yang melandasi digunakannya pendekatan kualitatif. Di antara beberapa alasan terpenting adalah kemantapan peneliti sendiri dan sifat dari masalah yang diteliti. Lihat Anselm Strauss, et.al., �Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques� diterjemahkan oleh Muhammad Shodiq, et.al., Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 5.
7. Menurut Suprayogo, secara umum, penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami (understanding) dunia makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat menurut perspektif masyarakat itu sendiri. Lihat Imam Suprayogo, et.al., Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 9.
8. Sukidin, et.al., Metode Penelitian: Membimbing dan Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Penelitian (Surabaya: Insan Cendekia, 2005), 23.
9. Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan; Teori dan Aplikasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 91.
10. IKIP Jakarta, Memperluas Cakrawala Penelitian Ilmiah (Jakarta: IKIP Jakarta, 1988), 67.


Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Artikulasi Nilai Kepemimpinan Kepala Sekolah

Menurut Ekosusilo, istilah �nilai� merupakan istilah yang tidak mudah untuk didefinisikan dan dibatasi secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak. Sedangkan EM. Kaswardi menuyebutkan nilai adalah realitas abstrak yang merupakan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman hidup seseorang. Nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan di mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan.

Nilai juga dapat didefinisikan sebagai ide-ide mendasar yang sesuai dengan yang diinginkan, yang benar, dan yang baik oleh sebagian besar anggota organisasi. Sekolah sebagai organisasi mempunyai nilai-nilai yang diyakini oleh anggota organisasi yang termanifestasi pada cara berpikir, bertindak, dan menyikapi hal-hal yang terkait dengan sekolah.
Nilai dan keyakinan dalam kepemimpinan merupakan landasan filosofis semangat organisasi (spirit of organization) sehingga roda organisasi dapat bergerak sesuai dengan visi dan misi yang diharapakan. Nilai dan keyakinan seorang pemimpin tentang organisasi yang dipimpinnya merupakan dimensi terdalam dari nilai-nilai universal yang diemban sekolah, yang merupakan refleksi dari nilai dan keyakinan warga sekolah.

Nilai dan keyakinan yang dimiliki seorang pemimpin, biasanya termanifestasi dalam diri organisasi. Di mana pemimpin berupaya agar nilai dan keyakinannya dapat menjadi harapan dan milik anggota organisasi. Peran dan tanggung jawab kepala sekolah adalah untuk mentransformasi nilai dan keyakinan agar terwujud dalam perilaku organisasi. Kepala sekolah mengarahkan nilai dan keyakinan untuk membangun budaya sekolah unggul (culture of excellence school).

Nilai dan keyakinan dalam organisasi sekolah yang perlu menjadi perhatian untuk mencapai keunggulan sekolah (excellence school) yaitu kualitas, keefektifan, persamaan, efisiensi, dan pemberdayaan. Keunggulan sekolah tercapai karena didukung dengan nilai-nilai dasar yang diyakini kepala sekolah dan anggota organisasi. Nilai dan keyakinan tersebut bersifat laten dan termanifestasi dalam kehidapan sehari-hari, seperti nilai keunggulan, nilai ibadah (pengabdian), nilai tanggung jawab dan sebagainya.

Sejauh mana nilai dan keyakinan dapat memberikan kontribusi dalam menggerakkan roda organisasi sangat tergantung pada peran dan tanggung jawab kepala sekolah. Ia dituntut untuk mengkomunikasikan nilai dan keyakinan organisasi agar memberikan dampak positif terhadap perilaku anggotanya. Siswa, guru, staf, orang tua, dan masyarakat harus memahami, menghayati, dan mengartikulasikan nilai dan keyakinan sekolah untuk mencapai tujuan.

Kepala sekolah diharapkan dapat membangun nilai dan keyakinan sekolah yang kokoh sebagai landasan untuk membangun sekolah yang baik (good school). Nilai dan keyakinan dapat menjadi landasan moral perilaku anggota organisasi sekolah. Kepala sekolah membangun nilai dan keyakinan anggota didasarkan pada visi dan misi sekolah tersebut.

Nilai-nilai pendidikan dapat diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan yang saling terkait satu sama lainnnya, yaitu:
1) Creative values (nilai-nilai kreatif), dalam hal ini berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan termasuk usaha merealisasikan nilai-nilai kreatif.
2) Experimental values (nilai-nilai penghayatan); meyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan nilai-nilai yang dianggap berharga.
3) Attitudinal values (nilai-nilai bersikap); menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tak dapat dihindari lagi setelah melakukan upaya secara optimal, tetapi tidak berhasil mengatasinya.

Adapun norma dapat dipahami sebagai seperangkat ketentuan yang berlangsung secara alami dan ditetapkan oleh suatu kelompok untuk ditaati bersama. Norma dapat berupa adat istiadat dan peraturan. Norma menjadi referensi anggota dalam perpikir dan bertindak terhadap tujuan yang akan dicapai. Itulah sebabnya sekolah yang memiliki norma-norma keagungan akan melahirkan karakteristik budaya yang berkualitas.

Sekolah yang memiliki budaya mutu dapat dilihat dari kemampuan sekolah ini untuk menciptakan seperangkat norma sebagai acuan warga sekolah dalam berprilaku di sekolah. Kepala sekolah, guru, siswa, staf, dan lainnya tanpa norma yang tertanam dalam aktivitas sehari-hari akan sulit untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Oleh karenanya kepala sekolah dituntut untuk membangun norma sekolah agar tercapai iklim sekolah yang bermutu.

Seperangkat peraturan sekolah merupakan bentuk norma yang terorganisir dalam suatu organisasi sekolah. Peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis merupakan bagian dari norma sekolah, yang merupakan budaya sekolah. Semakin tinggi norma yang ditetapkan dalam sekolah maka semakin tinggi budaya mutu yang lahir di sekolah.


Rujukan:
1. Madyo Ekosusilo, Sekolah Unggul Berbasis Nilai: Studi Multikasus di SMA Negeri 1, SMA Regina Pacis, dan SMA Al Islam 1 Surakarta (Sukoharjo: Bantara Press, 2003), 22.
2. EM. Kaswardi, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta : Gramedia, 1993), 20.
3. Asrin, Kepemimpinan Kepala Sekolah Pada Budaya Mutu di Sekolah; Studi Multikasus di SMAN Agung Dan SMAI Kartini Di Kota Bunga (Malang: Disertasi UM Tidak Diterbitkan, 2006), 56-58


Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Nilai-nilai (Religiusitas) Agama di Sekolah

Sejak pemikiran manusia memasuki tahap positif dan fungsional sekitar abad ke-18, pendidikan (baca: pendidikan agama) mulai digugat eksistensinya. Suasana kehidupan modern dengan kebudayaan massif serta terpenuhinya berbagai mobilitas kehidupan secara teknologis-mekanis, pada satu sisi telah melahirkan krisis etika dan moral. Meminjam bahasanya Zainuddin, Manusia di penjuru dunia ini cenderung mengabaikan aturan-aturan yang diberikan oleh Tuhan dan memisahkan fungsi pengaturan kehidupan dari campur tangan agama (sekuler ).

Dalam konteks ke-Indonesiaan, badai krisis tersebut puncak kulminasinya terjadi pada bulan Mei 1998 berupa kerusuhan yang telah memporak-porandakan tatanan nilai agama dan masyarakat. Etika dan tatakrama yang selama ini terinternalisasi dalam budaya anak bangsa yang santun, berubah menjadi gugusan retorika yang tak bermakna. Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ber- tipikal Qur�anik karena indahnya kehidupan di tengah kondisi bangsa yang serba plural, menjadi bangsa kanibal (pemangsa sesamanya) yang menakutkan dan menjijikkan.

Krisis moral tersebut tidak hanya melanda masyarakat lapisan bawah (grass root), tetapi juga meracuni atmosfir birokrasi negara mulai dari level paling atas sampai paling bawah. Munculnya fenomena white collar crimes (kejahatan kerah putih atau keja�hatan yang dilakukan oleh kaum berdasi, seperti para eksekutif, birokrat, guru, politisi atau yang setingkat dengan mereka), serta isu KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh para elit, merupakan indikasi kongkrit bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multidimensional.

Realitas di atas mendorong timbulnya berbagai gugatan terhadap efektivitas pendidikan agama yang selama ini dipandang oleh sebagian besar masyarakat telah gagal dalam membangun afeksi anak didik dengan nilai-nilai yang eternal serta mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah (aktual). Terlebih lagi dalam hal ini, dunia pendidikan yang mengemban peran sebagai pusat pengembangan ilmu dan SDM, pusat sumber daya penelitian dan sekaligus pusat kebudayaan kurang berhasil dalam mengemban misinya. Sistem pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pengisian kognitif mahasiswa un-sich, sehingga melahirkan lulusan yang cerdas tetapi kurang bermoral. Aspek afeksi dan psikomotor yang sangat vital keberadaannya terabaikan begitu saja.

Fenomena di atas tidak terlepas dari adanya pemahaman yang kurang benar tentang agama (religi) dan keberagaan (religiusitas). Agama sering kali dimaknai secara dangkal, tekstual dan cenderung esklusif. Nilai-nilai agama hanya dihafal sehingga hanya berhenti pada wilayah kognisi, tidak sampai menyentuh aspek afeksi dan psikomotorik.
Keberagamaan (religiusitas) tidak selalu identik dengan agama. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan, dalam aspek yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya. Sedangkan keberagamaan atau religiusitas lebih melihat aspek yang "di dalam lubuk hati nurani" pribadi. Dan karena itu, religiusitas lebih dalam dari agama yang tampak formal.

Istilah nilai keberagamaan (religius) merupakan istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak. Secara etimologi nilai keberagamaan berasal dari dua kata yakni: nilai dan keberagamaan. Menurut Rokeach dan Bank bahwasannya nilai merupakan suatu tipe kepercayaan yang berada pada suatu lingkup sistem kepercayaan di mana seseorang bertindak untuk menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang dianggap pantas atau tidak pantas. Ini berarti pemaknaan atau pemberian arti terhadap suatu objek. Sedangkan keberagamaan merupakan suatu sikap atau kesadaran yang muncul yang didasarkan atas keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap suatu agama.
Menurut Gay Hendricks dan Kate Ludeman dalam Ari Ginanjar, terdapat beberapa sikap agama yang tampak dalam diri seseorang dalam menjalankan tugasnya, di antaranya:

a. Kejujuran
Rahasia untuk meraih sukses menurut mereka adalah dengan selalu berkata jujur. Mereka menyadari, justru ketidakjujuran kepada pelanggan, orangtua, pemerintah dan masyarakat, pada akhirnya akan mengakibatkan diri mereka sendiri terjebak dalam kesulitan yang berlarut-larut. Total dalam kejujuran menjadi solusi, meskipun kenyataan begitu pahit.
b. Keadilan
Salah satu skill seseorang yang religius adalah mampu bersikap adil kepada semua pihak, bahkan saat ia terdesak sekalipun. Meraka berkata, "pada saat saya berlaku tidak adil, berarti saya telah mengganggu keseimbangan dunia.
c. Bermanfaat bagi Orang Lain
Hal ini merupakan salah satu bentuk sikap religus yang tampak dari diri seseorang. Sebagaimana sabda Nabi saw: "sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain".
d. Rendah Hati
Sikap rendah hati merupakan sikap tidak sombong mau mendengarkan pendapat orang lain dan tidak memaksakan gagasan atau kehendaknya. Dia tidak merasa bahwa dirinyalah yang selalu benar mengingat kebenaran juga selalu ada pada diri orang lain.
e. Bekerja Efisien
Mereka mampu memusatkan semua perhatian mereka pada pekerjaan saat itu, dan begitu juga saat mengerjakan pekerjaan selanjutnya. Mereka menyelesaikan pekerjaannya dengan santai, namun mampu memusatkan perhatian mereka saat belajar dan bekerja.
f. Visi ke Depan
Mereka mampu mengajak orang ke dalam angan-angannya. kemudian menjabarkan bagitu terinci, cara-cara untuk menuju kesana. Tetapi pada saat yang sama ia dengan mantap menatap realitas masa kini.
g. Disiplin Tinggi
Mereka sangatlah disiplin. Kedisiplinan mereka tumbuh dari semangat penuh gairah dan kesadaran, bukan berangkat dari keharusan dan keterpaksaan. Mereka beranggapan bahwa tindakan yang berpegang teguh pada komitmen untuk diri sendiri dan orang lain adalah hal yang dapat menumbuhkan energi tingkat tinggi
h. Keseimbangan
Seseorang yang memiliki sifat beragama sangat menjaga keseimbangan hidupnya, khusunya empat aspek inti dalam kehidupannya, yaitu: keintiman, pekerjaan, komunitas dan spiritualitas.

Dalam kontek pembelajaran, beberapa nilai agama tersebut bukankan tanggung jawab guru agama semata. Kejujuran tidak hanya disampaikan lewat mata pelajaran agama saja, tetapi juga lewat mata pelajaran lainnya. Misalnya seorang guru matematika mengajarkan kejujuran lewat rumus-rumus pasti yang menggambarkan suatu kondisi yang tidak kurang dan tidak lebih atau apa adanya. Begitu juga seorang guru ekonomi bisa menanamkan nilai-nilai keadilan lewat pelajaran ekonomi. Seseorang akan menerima untung dari suatu usaha yang dikembangkan sesuai dengan besar kecilnya modal yang ditanamkan. Dalam hal ini, aspek keadilanlah yang diutamakan.

Keberagamaan atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.

Menurut Nurcholis Madjid, agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan membaca do�a. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridla atau perkenan Allah. Agama dengan demikian meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian.

Dewasa ini telah muncul suatu kajian agama yang menggunakan antropologi dan sosiologi sebagai basis pendekatannya. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan serta memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara yang digunakan disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah, dapat pula digunakan untuk memahami agama. Untuk itu, Berbagai pendekatan dalam memahami agama yang selama ini digunakan, akan dipandang pincang tanpa memahami realitas yang melingkupi manusia yang tercermin dari budayanya.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nilai agama adalah nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan tumbuh-kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu aqidah, ibadah dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai dengan aturan-aturan Illahi untuk mencapai kesejahteraan serta kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Bila nilai-nilai agama tersebut telah tertanam pada diri siswa dan dipupuk dengan baik, maka dengan sendirinya akan tumbuh menjadi jiwa agama.

Dalam hal ini jiwa agama merupakan suatu kekuatan batin, daya dan kesanggupan dalam jasad manusia yang menurut para ahli Ilmu Jiwa Agama, kekuatan tersebut bersarang pada akal, kemauan dan perasaan. Selanjutnya, jiwa tersebut dituntun dan dibimbing oleh peraturan atau undang-undang Illahi yang disampaikan melalui para Nabi dan Rosul-Nya untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraan baik di kehidupan dunia ini maupun dan di akhirat kelak.

Bila jiwa agama telah tumbuh dengan subur dalam diri siswa, maka tugas pendidik selanjutnya adalah menjadikan nilai-nilai agama sebagai sikap beragama siswa. Sikap keberagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya kepada agama. Sikap keagamaan tersebut karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif/ psikomotorik. Jadi sikap keagamaan pada anak sangat berhubungan erat dengan gejala kejiwaan anak yang terdiri dari tiga aspek tersebut.


Rujukan:
1. Zainuddin, Tantangan Pendidikan Tinggi Islam Pada Millenium Ketiga, dalam tabloid GEMA STAIN Malang, edisi Mei-Juni 2000, 2.
2. Moh. Yunus, �Pluralitas Agama dan Kekerasan Kolektif, Perspektif Sosiolagi Agama�, Dalam majalah el-Harakah STAIN Malang, Edisi April � Juni 2000, 26.
3. Lihat dalam A. Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial :Mendidik Anak Sukses Masa Depan : Pandai dan Bermanfaat, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), 8-14.
4. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. RemajaRosdakarya: 2004), 288.
5. Madyo Ekosusilo, Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai (Studi Multi Kasus di SMA Negeri 1, SMA Regia Pacis, dan SMA Al Islam 01 Surakarta), Sukoharjo: Univet Bantara Press, 2003), 22.
6. Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuah Inner Journey Melalui Ihsan, (Jakarta: ARGA, 2003), 249.
7. Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 76.
8. Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, ( Jakarta: Paramadina, 1997), 124.
9. Akhmad Taufiq, et. Al., Metodologi Studi Islam, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), 15.
10. Jamhari Ma'ruf, �Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam,� http://www.ditpertais.net/artikel/ jamhari01.asp, (diakses pada 17 September 2007), 1.
11. Muhaimin dan Abdul Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Triganda Karya, 1993), 35.



Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Artikulasi Visi dan Misi Kepemimpinan

Visi adalah apa yang didambakan organisasi untuk dimiliki atau diperoleh di masa depan (what we do we want to have). Sedangkan misi adalah dambaan tentang kita akan menjadi apa di masa depan (what we do we want to be). Agar efektif dan powerful, maka visi dan misi harus jelas, harmonis, dan compatible.

Dalam proses kepemimpinan, seorang kepala sekolah dituntut untuk merumuskan visi dan misi sekolah sebagai kesatuan ide dan perekat bagi anggota organisasi sekolah. Visi dan misi yang dimiliki sekolah berusaha diwujudkan dalam peran dan tugas masing-masing individu atau kelompok di sekolah. Terbentuknya visi dan misi sekolah yang kuat merupakan hasil dari sudut pandang (view of state) dan harapan kepala sekolah terhadap sekolah yang dipimpinnya.

Visi dan misi dimaksudkan untuk menjadikan sebuah organisasi memiliki jati diri yang khas yang membedakannya dengan organisasi lainnya. Visi dan misi yang dimiliki oleh sekolah harus merupakan karakteristik unik yang dapat diterjemahkan dalam aktifitas-aktifitas yang lebih operasional. Sehingga dalam melahirkan visi dan misi sekolah yang baik setidaknya mencakup tugas dan fungsi, filosofi dasar organisasi, apa yang akan ditawarkan, apa dan untuk siapa sekolah tersebut.

Visi yang baik akan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) menjalaskan arah tujuan; 2) mudah dimengerti dan diartikulasikan; 3) mencerminkan cita-cita yang tinggi, dan menetapkan standart of excellent; 4) menumbuhkan inspirasi, semangat, dan komitmen; 5) menciptakan makna bagi anggota organisasi; 6) merefleksikan keunikan dan keistimewaan organisasi; 7) menyiratkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh organisasi; 8) kontekstual, berhubungan dengan organisasi dengan lingkungan dan sejarah perkembangan organisasi.

Sedangkan misi akan menggerakkan organisasi lebih baik. Keunggulan misi yaitu: 1) organisasi yang digerakkan oleh misi akan lebih efisien; 2) organisasi yang digerakkan oleh misi akan lebih efektif dan baik; 3) organisasi yang digerakkan oleh misi akan lebih fleksibel; dan 4) organisasi yang digerakkan oleh misi akan mempunyai semangat lebih tinggi.
Itulah sebabnya visi dan misi mempunyai posisi yang sangat penting dalam kajian kepemimpinan. Visi dan misi merupakan gambaran umum atau cetak biru masa depan organisasi yang akan dipimpim oleh seorang pemimpin.


Rujukan:
1. Madyo Ekosusilo, Sekolah Unggul Berbasis Nilai: Studi Multikasus di SMA Negeri 1, SMA Regina Pacis, dan SMA Al Islam 1 Surakarta (Sukoharjo: Bantara Press, 2003), 44-45.
2. Asrin, Kepemimpinan Kepala Sekolah Pada Budaya Mutu di Sekolah; Studi Multikasus di SMAN Agung Dan SMAI Kartini Di Kota Bunga (Malang: Disertasi UM Tidak Diterbitkan, 2006), 53-55.



Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Hakekat Kepemimpinan Pendidikan Islam

Dalam penelitian ini, istilah �kepemimpinan� disandingkan dengan kata �pendidikan�. Hal ini mengandung dua pengertian. Di mana kata �pendidikan� menerangkan dalam lapangan apa dan di mana kepemimpinan itu berlangsung, sekaligus menjelaskan pula sifat atau ciri-ciri yang harus dimiliki oleh kepemimpinan tersebut.

Untuk itu, Sebelum membahas pengertian kepemimpinan sebagai suatu kesatuan, maka perlu dijelaskan juga pengertian pendidikan dari M.J Langeveld yang berpendapat bahwa pendidikan atau pedagogi adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju pada kedewasaan dan kemandirian. Adapun pendidikan Islam pada hakekatnya merupakan usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup.

Adapun pengertian kepemimpinan telah banyak sekali para ahli yang berusaha mendefinisikannya, di antaranya sebagai berikut:
a. Kepemimpinan adalah suatu proses di mana individu mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan umum.
b. Kepemimpinan itu adalah kemampuan untuk menanamkan keyakinan dan memperoleh dukungan dari anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
c. Menurut Rivai definisi kepemimpinan secara luas adalah meliputi proses mempengaruhi dan menetukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, dan mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.
d. Menurut Nawawi, kepemimpinan berarti kemampuan menggerakkan memberikan motivasi dan mempengaruhi orang-orang agar bersedia melakukan tindakan-tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan melalui keberanian mengambil keputusan tentang kegiatan yang harus dilakukan.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses kegiatan seseorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi, mendorong, mengarahkan, dan menggerakkan individu-individu supaya timbul kerjasama secara teratur dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Senada dengan kesimpulan ini, Prabowo menyatakan bahwa dari berbagai defini kepemimpinan kesemuanya mengarah pada adanya suatu proses untuk memberi pengaruh secara sosial kepada orang lain, sehingga orang lain tersebut menjalankan sesuatu sebagaimana diinginkan oleh pemimpin. Dari banyaknya definisi tentang kepemimpinan tidak ada yang �benar�, ia hanya merupakan masalah sejauh mana definisi tersebut berguna untuk meningkatkan pengetahuan kita.

Lebih lanjut, Mike PEGG (1994) memperkenalkan kepemimpinan positif yang diadopsi dari model-model kepemimpinan tokoh-tokoh sukses yang memunculkan dua kesimpulan: pertama, pemimpin positif memiliki banyak ciri pemimpin yang dalat mendorong untuk bekerja guna mencapai tujuan yang pasti. Kedua, mereka dapat membangun tim kepemimpinan yang baik.

Apabila pengertian kepemimpinan dipadukan dengan pengertian pendidikan, maka pengertian kepemimpinan pendidikan merupakan suatu proses mempengaruhi, mengkoordinir, dan menggerakkan orang lain yang ada hubungan dengan pengembangan ilmu pendidikan dan pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran agar kegiatan-kegiatan yang dijalankan dapat lebih efisien dan efektif demi mencapai tujuan-tujuan pendidikan dan pembelajaran.

Kepemimpinan pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses kegiatan usaha mempengaruhi, menggerakkan, dan mengkoordinasi-kan personal di lingkungan pendidikan pada situasi tertentu agar mereka melalui kerjasama mau bekerja dengan penuh tanggung jawab dan ikhlas demi tercapainya demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah dirumuskan.

Menjadi pemimpin lembaga pendidikan, terutama pendidikan Islam tidak saja dituntut untuk menguasai teori kepemimpinan, akan tetapi ia juga harus terampil dalam menerapkan situasi praktis di lapangan dan memiliki etos kerja yang tinggi untuk membawa lembaga pendidikan yang dipimpinnya dan memiliki pengaruh yang kuat. Di sini
Para ulama berkonsensus bahwa inti efektivitas proses kepemimpinan terlatak pada wibawa (pengaruh) interaktif antara pemimpin dan pengikutnya. Kepemimpinan yang sukses adalah yang mampu mempengaruhi perilaku individu-individu untuk menunaikan tugasnya dalam rangka memberikan arahan dan petunjuk, mewujudkan target organisasi (jamaah), mengembangkan, memegang teguh, dan menjaga kekuatan bagunannya.


Rujukan:
1. Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis (Bandung: Mandar Maju, 1992), 22.
2. Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 86.
3. P. G. Northouse, Leadership: Theory and Practice (New Delhi: Response Book, 2003), 3.
4. Imam Suprayogo, Reformulasi Visi dan Misi Pendidikan Islam (Malang: STAIN Press, 1999), 160.
5. A. J. Dubrin, 2001, Leadership: Research Findings, Practices, and Skills (Boston: Houghton Mifflin Company, 2001), 3.
6. Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 2.
7. Hadari Nawawi, Administrasi Pandidikan (Jakarta: Haji Masagung, 1998), 81; dan Burhanuddin, Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 63. Sedikit berbeda dengan pengertian Nawawi, Dirawat menambahkan perlunya kesiapan untuk memimpin dan bertindak bahkan bila perlu memaksa orang lain agar ia menerima pengaruh pemimpin tersebut. Lihat Dirawat, et.al., Pengantar Kepemimpinan Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), 80.
8. Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pengembangan Mutu Sekolah/Madrasah (Malang: UIN Malang Press, 2008), 11-12.
9. Gary Yulk, �Leadership in Organizations�, diterjemahkan Jusuf Udaya, Kepemimipinan dalam Organisasi (Jakarta: Prenhallindo, 1998),15.
10. Mike PEGG, �Positive Leadership�, diterjemahkan Arif Suyoko, Kepemimpinan Positif (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1994), 6.
11. Hendyat Soetopo, et.al., Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan (Jakarta: Bina Aksara, 1984), 4.
12. M. Ahmad Rohani, et.al., Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan di Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 88.
13. Jamal Madhi, �Al-Qiyadah Al-Muatsirah�, diterjemahkan Amang Syafrudin, et.al., Menjadi Pemimpin yang Efektif dan Berwibawa (Bandung: Syamil Cipta Media, 2004), 2-3.



Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Telaah tentang Tafsir Shufi

Perkembangan kehidupan dunia dengan berbagai latar belakangnya telah menjadikan corak ragam kemampuan dalam memahami sebuah teks termasuk didalamnya teks al-Qur�an. Hal ini juga yang menyebabkan penafsiran muncul dengan beragam corak dari mufasir dan latar belakangnya serta kemampuan analisa yang dimilikinya.

Hal senada juga disampaikan oleh Muhammad Arkoun yang menulis bahwa Al-Qur�an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas, kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud mutlak. Dengan demikian, ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.

Begitu pula tatkala pasa kaum sufi melihat ayat-ayat al-Qur�an maka mereka juga mencoba untuk menginterpretasikan ayat tersebut sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang mereka miliki. Sehingga muncul sebuah corak penafsiran yang lebih dikenal dengan tafsir al-shufi.

A. Makna tasawuf
Kata shufi berasal dari kata bahasa arab tashowwuf yang diambil dari kata dasar shufi yang artinya orang yang memakai shuf atau kaian kasar sebagai tanda zuhud atau meninggalkan gemerlap dunia. Dan kata tasawuf juga diambil dari kata shifa�, yang berarti kebeningan hati orang-orang yang melakukan tasawuf. Dan juga kata tasawuf diambil dari kata shuffah, yang dimaksud adalah sekelompok sahabat Nabi yang fakir yang berasal dari daerah shuffah. Bahkan juga terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kata kata tasawuf adalah gelar bagi sekelompok masyarakat yang meninggalkan dunia untuk kebahagiaan akhirat.

Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa kaum sufi adalah kelompok yang selalu melihat sesuatu dari sisi ruhaniahnya disamping sisi lahiriyahnya. Pemikiran ini juga diterapkan manakala memahami ayat al-Qur�an. Oleh sebab itu. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa sebab munculnya corak penafsiran tasawuf akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai relasi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap kehidupan dunia, atau kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan, ataukah sebagai kecenderungan pribadi terlepas dari pengaruh luar.

B. Gerakan tasawuf dan implikasinya dalam penafsiran al-Qur�an
Gerakan dan kegiatan tasawuf dalam Islam sudah ada sejak awal keberadaan ajaran Islam. Hal ini ditunjukkan dengan kegiatan dari sebagian sahabat Nabi SAW yang meninggalkan urusan dunia untuk hidup dalam kesederhanaan dan kekurangan dengan memperbanyak ibadah dan dzikir untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari kebahagian akhirat yang kekal. Sedang penyebutan kelompok yang zuhud ini dengan kata tasawuf atau shufi pada abad ke-2 hijriyah dan yang pertama adalah Abu Hasyim As-Shufi yang wafat pada tahun 150 H.

Ajaran tasawuf yang terus berkembang juga bersinggungan dengan filsafat, ilmu kalam dan fiqih. Sehingga sebagian shufi juga menggunakan paradigma filosof dalam mendekati agama (al-Qur�an) ketika memahami pokok ajaran tasawuf. Bahkan mereka juga mempunyai penafsiran dan cara brfikir filosof tersendiri dalam bertasawuf sehingga muncul corak baru dalam berfilsafat dan dalam kajian tasawuf, kelompok ini disebut dengan tasawuf falsafi.

Dalam perjalanannya kelompok tasawuf falsafi juga menggunakan dasar-dasar filsafat ketika mengkaji pokok-pokok ajaran Islam sehigga hal ini menimbulkan tentangan dari sebagian kelomok dari ahlus sunah pada akhir abad ke-7 H. Sejak saat itu masuk dalam kelompok tasawuf orang-orang yang tidak paham akan tasawuf yang sebenarnya dan mereka hanya berpura-pura dalam bertasawuf yang berdampak pada perkembangan tasawuf itu sendiri yang semakin surut dan hanya berkutat pada kajian yang sempit dan terbatas pada dzikir dan wirid serta beberapa kajian terbatas tentang fiqih, tafsir dan hadist.

Keberadaan tasawuf sebagai kelanjutan dari syarit juga masih menyisakan permasalahan tetapi Syaikh Nawawi al-Bantani memberikan sebuah ilustrasi tentang syariat, tarikat (tasawuf) dan hakikat dengan buah kelapa. Dimana kulit kelapa itu adalah syariat, daging kelapa adalah tarikat (tasawuf) dan santan adalah hakikat. Jadi ketiga hal tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu dalam menafsirkan al-Qur�an tasawuf terbagi menjadi dua kelompok yaitu tasawuf nadhori yaitu kelompok tasawuf yang mendasarkan pada pemikiran filosofis dalam kajian tentang agama Islam dan kelompok tasawuf �amali (isyari) yaitu kelompok yang mendasarkan pemahaman agama Islam pada sisi ruhaniah dan hidup dalam kesederhanaan dan zuhud dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Dan keduanya mempunyai pengaruh dalam penafsiran al-Qur�an.

Dalam al-Qur�an terdapat hal-hal suprarasional yang membutuhkan pemahaman tingkat tinggi untuk mengungkap apa maksud dari itu semua maka perlu adanya tafsir. Tetapi penafsiran diperbolehkan selama penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab. Dan kekuatan tanggung jawab inilah yang pada akhirnya membatasi mufasir sesuai kapasitas dan kompetensi yang dimiliki dalam sebuah ilmu.

C. Tafsir Sufi Nadhhori
Tafsir ini merupakan salah satu manifestasi ahli tasawuf dalam memahai al-Qur�an. Dan dalam metode penafsirannya berdasarkan pada kajian atau teori filsafat yang mereka kuasai maka tafsir dengan model ini disebut dengan tafsir shufi nadhori. Dan tokoh yang terkenal adalah Ibn Arabi.

Penafsiran dengan menggunakan teori filsafat ternyata kurang dapat menangkap keseluruhan isi dari al-Qur�an sebab dalam kajiannya selalu mengkiaskan dengan sesuatu yang nyata dan hal ini sangat sulit dilakkan dan dipahami. Seperti halnya Ibn Arabi memberikan penafsiran tentang keberadaan Nabi Idris dalam al-Qur�an surat Maryam ayat 57 yang artinya : Dan kami angkat dia ke tempat yang tinggi.

Ibnu Arabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tempat yang tinggi adalah tempat yang nyata dan menafsirinya dengan sebuah tempat yang dijadikan garis edar dari planet yaitu matahari sebagai pusatnya. Di tempat itulah bersemayam Nabi Idris a.s yang mana disekitarnya masih terdapat tujuh langit diatas dan dibawahnya sehingga seluruhnya berjumlah 15 tingkatan. Adapun yang tertingggi adalah Muhammadiin (Pengikut Nabi Muhammad).

Dalam bertasawuf term yang dianut oleh Ibn Arabi adalah Wahdatul Wujud. Sehingga beliau memandang bahwa segala sesuatu adalah satu dan bersatu dengan tuhan. Maka ketika menafsiri ayat 1 dari Surat an-Nisa� beliau menjelaskan agar menjadikan sesuatu yang nampak sebagai penjaga terhadap Tuhanmu dan jadikan yang gaib (Tuhan) sebagai penjaga bagimu.

Dalam menafsirkan ayat Ibn Arabi mengakui sifat lahiriyah ayat sebagaimana ia juga mengakui bahwa syariat adalah timbangan dan pemimpin yang harus diikuti dan ditaati oleh siapa saja yang menginginkan keberhasilan dalam bertasawuf. Jadi meski penafsirannya terkadang jauh dari makna ayat sesungguhnya tetapi masih tetap memegangnya dan tidak melepaskan begitu saja. Sebab diantara mufasir dengan meode ini ada yang hanya mengakui keberadaan makna lahir (lafadz) ayat tetapi mereka tidak menggunakannya bahkan ada sebagian yang hanya mengambil makna ruhaniahnya saja dan mengingkari makna lahiriyah, kedua kelompok ini termasuk kelompok yang sesat.

D. Tafsir Shufi (al-Isyari)
Tafsir al-Isyari adalah sebuah takwil terhadap ayat-ayat al-Qur�an yang berbeda dengan apa yang tampak darinya sesuai dengan isyarat yang tersembunyi yang diketahui dalam tingkatan perjalanan tasawuf (suluk). Tafsir ini lebih banyak menafsirkan sebuah ayat dengan menggunakan metode ruhaniah yang berupa intuisi dan kontemplasi untuk menyingkap tabir ayat melalui dzikir dan wirid. Sebab dengan semakin dekat seorang hamba dengan Allah maka semakin benar sebuah penafsirannya. Terlepas dari itu semua ternyata hal ini juga sangat subyektif sebab kemampuan masing-masing individu tidak sama dalam tingkatan tasawuf maka juga tetap saja memunculkan ragam penafsiran terhadap ayat al-Qur�an.

Perbedaan antara tafsir shufi an-nadhori dan tafsir isyari ada 2 hal yaitu :
1. Tafsir shufi an-nadhori mendasarkan penafsiran pada kaidah-kaidah ilmiah yang mereka terima kemudian menerapkannya dalam memahami al-Qur�an. Sedangkan tafsir isyari mendasarkan penafsiran pada pendekatan ruhani dengan kontemplasi dan intuisinya utuk mengetahui sesuatu yang tersembunyi dari ayat al-Qur�an.
2. Dalam menafsirkan ayat al-Qur�an mufasir an-nadhori melihat bahwa semua ayat memiliki sebuah makna yang nyata dan tidak ada yang lain. Hal ini berbeda dengan mufasir isyari yang melihat bahwa setiap ayat memiliki dimensi makna tersembunyi selain makna yang nampak dan untuk mengetahuinya sesuai dengan kadar kemampuan dan tingkatannya dalam bertasawuf.
Sebagai dasar para mufasir isyari dalam metode penafsirannya menurut syara� pada al-Qur�an surah An-Nisa ayat 78 dan 82. Mereka memahami bahwa al-Qur�an memiliki dua dimensi makna yaitu yang nampak dan tersembunyi. Makna yang nampak adalah makna lafadz itu sendiri atau makna menurut pemahaman para ilmuan, sedang makna yang tersembunyi adalah sesuatu yang berada di balik lafadz berupa penafsiran atau pentakwilannya dan juga sesuatu kehendak dari Allah dari sebuah ayat juga dimaksudkan dalam kategori makna yang tersembunyi dan cara mengetahuinya melalui perjalanan ruhaniah.

Oleh sebab itu Abu Ubaidah dalam melihat ayat-ayat al-Qur�an yang menceritakan tentang umat terdahulu menjelaskan bahwa secara dhohir (nampak) bahwa ayat tersebut memang memberikan berita tentang keberadaan sebuah kaum dan keadaannya yang sedemikian rupa. Adapun dari sisi bathin atau yang tersembunyi Abu Ubaidah melihat bahwa ayat-ayat tersebut merupakan peringatan bagi umat manusia saat ini agar jangan melakukan hal yang sama dan akan mendapatkan perlakuan sebagaimana mereka.

Imam Malik juga melakukan hal yang sama tatkala memberikan penafsiran terhadap ayat ke 4 dari surah al-Mudatsir yang artinya dan sucikanlah pakaianmu. Secara harfiyah maka tatkala kita melakukan ibadah maka pakaian kita juga harus suci sebagaimana syarat sah dalam sholat. Tetapi disamping itu Imam Malik juga menjelaskan bahwa tidak hanya terbatas pada hal ini tetapi yang lebih penting adalah sucikanlah hatimu sebab itu yang akan dilihat oleh Allah, sebagaimana hadist yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat pada tubuh-tubuhkamu tetapi Allah melihat pada hati-hatimu. Maka Imam Malik telah mencoba mencari makna yang tersembunyi melalui perenungan dan pemahaman yang mendalam dengan menggabungkan antara pemahaman dalam ayat dan dalam hadist.

Dalam perjalanannya tafsir isyari tidak seluruhnya diterima bahkan terjadi pertentangan diantara sebagian ulama terhadap yang lain dalam memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur�an melalui metode ini. Sebagian dari mereka lebih memakai penafsiran ayat al-Qur�an sesuai dengan keyakinan mereka sehingga keliru dan sebagian tidak mengakui penafsiran al-Qur�an secara harfiyah serta hanya mempercayai penafsiran terhadap sesuatu dibalik ayat al-Qur�an. Dan ini semua keliru dan menyesatkan. Maka kaum shufi menempatkan diri mereka pada kedudukan mengakui terhadap makna yang nampak dari ayat al-Qur�an tetapi juga menerima pentakwilan terhadapnya selama itu sesuai dengan aqidah dan dapat diterima akal.

E. Kritik terhadap tafsir shufi
Munculnya gerakan tasawuf dalam Islam telah memunculkan sebuah corak penafsiran tasawuf yang didasarkan pada sebuah kajian yang didasarkan pada filsafat seagaimana yang dikerjakan oleh Ibn Arabi, dan terdapat pula kelompok yang dalam penafsirannya menggunakan dasar intuisi yang diperoleh melalui riyadhoh atau olah jiwa dengan dzikir dan wirid. Keduanya juga memberikan dampak bagi umat Islam oleh sebab itu perlu adanya syarat-syarat seperti yang telah disampaikan oleh Quraish Shihab, bahwa sebuah penafsiran diperbolehkan selala dilakukan dengan sadar dan penuh tanggungjawab.
Begitu juga yang syarat diterimanya tafsir isyari menurut al-Dzahabiy yaitu :
1. Tafsir isyari tidak boleh menafikan makna harfiyah dari lafadz.
2. Harus ada bukti yang kuat secara syara�
3. Tidak bertentangan dengan syara� dan akal
4. Tidak hanya menonjolkan sisi ruhaniah sebuah ayat dalam memahaminya tapi hendaknya melalui pemahaman lahiriyah yang akan mengarah pada pemaknaan secara ruhaniah.

Dan dalam kaitan antara tasawuf dan syariat dapat kita sandarkan pada sebuah hadist yang menerangkan bahwa seseorang termasuk fasik ketika memahami syariat tapi tidak bertasawuf dan seseorang dikatakan zindik jika bertasawuf tetapi tidak paham syariat. Kelompok zindik adalah kelompok yang menghancurkan Islam dari dalam.


Rujukan:
Al-Munawar, Said Agil Husin. 2002. Al-Qur�an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta. Ciputat Press.
Al-Dzahabiy, Muhammad Husain. 1976. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Beirut. Dar al-Fikr.
Al-Qoththon, Manna� Kholil. Mabahist fi Ulumil Qur�an.
Shihab, Muhammad Quraish. 1994. Membumikan al-Qur�an. Bandung. Mizan.
______, 1994. Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung. Mizan.
Yusuf, Muhammad Yunan. 2003. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Jakarta. Penamadani.



Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Strategi Pendidikan Anti KKN dengan Pembiasaan


Pengembangan pendidikan Anti KKN melalui pembiasaan perilaku di sekolah dimaksudkan untuk menciptakan atmosfir dan menumbuhkan budaya Anti KKN di lingkungan sekolah. Melalui pembiasaan perilaku akan terjadi pengulangan perilaku secara terus menerus dalam kurun waktu yang lama, sehingga perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang tersebut lambat laun secara pasti akan membiasa dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari.

Bold
Panduan Lengkap Download DI SINI


Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Pendidikan Anti KKN pada Kegiatan Kesiswaan


Pengembangan Pendidikan Anti KKN dalam kegiatan kesiswaan dimaksudkan untuk mendorong terjadinya internasilasi nilai dan tumbuhnya sikap dan perilaku Anti KKN melalui aktivitas dan pengalaman nyata siswa. Pada prinsipnya semua kegiatan kesiswaan secara instrinsik mengandung muatan nilai dan perilaku Anti KKN dengan kadar yang berbeda. Namun jika tidak dikembangkan secara sengaja dan terencana tidak akan dapat tumbuh dan berkembang secara efektif.

Kegiatan kesiswaan yang dimaksud baik kegiatan kesiswaan yang selama ini sudah ada dan dilaksanakan maupun yang baru akan diadakan dan dilaksanakan, baik yang dilaksanakan secara rutin maupun insidental. Beberapa kegiatan kesiswaan tersebut diantaranya adalah: (a) Kepengurusan OSIS; (b) Pramuka; (c) Kopsis; (d) PMR; (e) Majalah Dinding atau Majalah Sekolah/Siswa; (f) Peringatan Hari-hari Besar Nasional dan Keagamaan; (g) Pentas Seni; (h) Pertandingan Olahraga, dan sebagainya.


Panduan Lengkap Download
DI SINI


Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com