Tampilkan postingan dengan label Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Buku. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 Maret 2011

Resensi : Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita

REORIENTASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL



















Judul Buku : LANDASAN DAN ARAH PENDIDIKAN NASIONAL KITA
Penulis : Prof. Dr. Soedijarto, M.A.
Penerbit : Kompas Media Nusantara
Cetakan : 1, Juli 2008
Tebal : xlvi +488 hlm
Peresensi : M. Asrori Ardiansyah, M.Pd

�What wrong with American classroom?� teriak Senator J.F. Kennedy pada 1957, lantaran Amerika Serikat tertinggal dalam teknologi ruang angkasa dari Uni Soviet. Pertanyaan-pertanyaan senada juga sering diteriakkan oleh para pemimpin negara-negara maju ketika menghadapi krisis, baik krisis kepemimpinan, teknologi, terlebih krisis multidimensional, seperti yang masih saja melanda negeri ini.

Tetapi tampaknya sikap kita berbeda dengan negara lain seperti Amerika Serikat, jepang, ataupun China yang mempertanyakan ihwal peran pendidikan nasional dalam mengatasi masalah yang melanda negara. Di negeri ini, pertanyaan serupa pernah diajukan oleh seorang pelajar ilmu pendidikan, yang saat itu sedang menjabat Direktur Jenderal di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, namun sama sekali tidak bersambut. Sejak saat itulah pelajar tersebut berkontemplasi tentang kondisi pendidikan nasional baik dari segi landasan filosofis, pelaksaan dan infrastruktur serta pembiayaannya, dan selanjutnya menulis curahan-curahan gagasannya dalam serangkaian artikel yang disajikan dalam berbagai seminar baik di dalam maupun di luar negeri. Serangkaian tulisan tersebut akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku utuh berjudul Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Penerbitan buku ini sekaligus menandai ulang tahun penulis yang ke-70.
Pelajar tersebut, Soedijarto, telah menjelma menjadi salah satu di antara sedikit pemikir pendidikan yang secara praksis banyak terlibat dalam ranah politik pendidikan. Diarto, begitu ia kerap dipanggil, telah mengabdikan hampir seluruh usianya dalam berbagai lapangan pendidikan di negeri ini. Ia seorang pendidik, guru besar, cendekiawan, dan mantan pejabat tinggi di Departemen Pendidikan Nasional.

Kepedulian Diarto terhadap pendidikan telah terinternalisasi dalam dirinya sejak masih manjadi mahasiswa. 46 tahun silam, dia, dengan gayanya yang khas, telah memaparkan visi pendidikan yang �mencerdaskan kehidupan bangsa� di hadapan Bung Karno. Paparannya tentang pentingnya lembaga pendidikan guru yang harus bertaraf universitas langsung dijawab oleh Bung Karno satu tahun kemudian dengan didirikannya �Institut Pendidikan dan Keguruan (IKIP)� sebagai institusi pendidikan tinggi kependidikan yang belakangan telah berubah menjadi universitas-universitas negeri sebagaimana dicita-citakan Diarto.
Hampir setengah abad kemudian, masih dengan gaya lamanya, ia memperjuangkan penyediaan anggaran pendidikan harus terjamin dan dilindungi oleh UUD. Dengan gigih, ia bersama anggota MPR yang sepaham memperjuangkan pencantuman pasal yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen.

Perjuangan ini unik dan sangat berani, karena tak lazim dalam sebuah UUD suatu negara mencantumkan suatu angka, lebih-lebih untuk satu bidang tertentu. Namun, di mata Diarto, tidak demikan. Layaknya peramal ulung, ia tahu bahwa pendidikan di negeri ini tidak akan mendapatkan porsi pembiayaan yang layak tanpa perlindungan UUD 1945. Nyatanya, hingga tahun 2003, persentase anggaran pendidikan terhadap PBD di negeri ini baru mencapai 1,4 persen. Angka ini hanya separuh dari Vietnam yang telah menganggarkan 2,8 persen. Dan jauh di bawah Thailand dan Malaysia yang masing-masing telah mencapai 5,0 dan 5,2 persen (hal 81).

Kesalahan Sistem Pendidikan Kita
Berbeda dengan berbagai negara di dunia, Indonesia meletakkan misi �mencerdaskan kehidupan bangsa� dalam deklarasi kemerdekaannya (Pembukaan UUD 1945) dan menetapkan �hak warga negara memperoleh pangajaran (pendidikan)� serta �kewajiban pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional� dalam UUD-nya (UUD 1945). Namun semenjak krisis multidimensional tahun 1998, hingga kini negeri ini belum juga mampu untuk bangkit dari keterpurukan. Kenyataan fenomenal ini merupakan indikasi bahwa penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa ini di atas, masih jauh dari berhasil.

Krisis ekonomi dan moneter yang melahirkan efek domino di berbagai sisi pada akhirnya meruntuhkan berbagai sendi utama kehidupan bangsa Indonesia. Disintegrasi menjadi �hantu gentayangan� yang selalu membayangi kehidupan sehari-hari, seiring dengan berbagai tindak kekerasan sosial-politik yang mengalami eskalasi. Pembangunan di berbagai sektor mengalami interupsi, karena berbagai prasyarat yang dibutuhkan telah luluh-lantak disapu-bersih badai krisis multidimensional. Krisis multidimensional ini bukan saja menimpa para petinggi di republik ini, tetapi juga akut di kalangan masyarakat luas. Hal ini membuat mata masyarakat harus terbuka lebar menghadapi kenyataan lemahnya bangunan peradaban dan integritas kebangsaan masyarakat negeri ini.

Gelombang reformasi merupakan paket jalan keluar yang diajukan masyarakat untuk mengembalikan dan memulihkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlepas dari variabel sosial-politik yang begitu rumit, krisis multidimensional yang menimpa bangsa ini dapat pula dilihat sebagai lemahnya sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia, yang tentunya amat terkait dengan praktik pendidikan yang selama ini berlangsung. Artinya, krisis multidimensional tersebut dapat disebut berakar dari gagalnya proyek pendidikan. Karena itu, beberapa kalangan lalu menjadi peduli untuk merekonstruksi kembali�atau bahkan mendekonstruksi�berbagai paradigma pendidikan yang diberlakukan selama ini. Merancang masa depan pendidikan yang lebih memungkinkan bagi terciptanya demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat kemudian menjadi suatu keniscayaan. Apalagi bila dikaitkan dengan konteks internasional atau variabel global. Tantangan sebagai bangsa untuk bersaing di kehidupan global semakin menantang dunia pendidikan guna mempersiapkan kader-kader bangsa yang mumpuni.

Lantas, di manakah letak kesalahan sistem pendidikan kita? Diarto menengarai bahwa kekacauan sistem pendidikan kita dikarenakan lemahnya falsafah yang mendasari praksis pendidikan di lapangan. Lebih jauh Diarto juga menyoroti lemahnya kurikulum, sistem evaluasi, peran perguruan tinggi hingga permasalahan klasik pendidikan yang terkait dengan minimnya dukungan dana dari pemerintah.

Sebagai seorang nasionalis tulen, Diarto mengupas banyak tentang perlunya pemahaman kembali terhadap landasan filosofis negara (baca: Pancasila) yang menjadi falsafah pendidikan kita. Bahkan, secara spesifik Diarto banyak mengutip pemikiran Bung Karno dengan tajuknya yang bertema Pancasila ala-Bung Karno yang perlu diperjuangkan melalui pendidikan nasional.

Berharap Dari Anggaran 20 Persen
Buku yang pada dasarnya merupakan kumpulan makalah ini menjadi terbangun cukup apik dengan diketengahkannya problematika klasik pendidikan nasional kita yang masih berkutat pada masalah pembiayaan. Terkait hal ini, Diarto mengulang-ulang pandangannya akan perlunya peningkatan dana demi menjamin peningkatan mutu pendidikan kita. Baginya, penganggaran 20 persen dari APBN dan APBD bagi sektor pendidikan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pokokknya, 20 persen.

Kini, harapan besar itu akan segera terwujud. Pidato Nota Keuangan RAPBN 2009 yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pada 15 Agustus lalu yang menegaskan rencananya untuk mengalokasian anggaran sebesar Rp 224 triliun dalam RAPBN 2009 adalah untuk memenuhi kewajiban tersebut di atas. Anggaran ini nantinya akan digunakan untuk menuntaskan pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Anggaran ini juga ditujukan untuk menaikkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru secara signifikan. Anggaran pendidikan yang sudah mencapai 20 persen dari APBN diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini, guna membangun keunggulan dan daya saing bangsa di abad ke-21 ini.

Namun, persoalan ini tidak berhenti sampai di sini. Anggaran yang cukup besar tersebut harus dipastikan tepat sasaran dan dapat dipertanggungjwabkan. Di sinilah tugas pemerintah dan masyarakat untuk mengawal dan mengawasi penuh amanah besar ini. Seluruh komponen bangsa wajib untuk ikut serta memasang mata dan telinganya setiap saat, dalam rangka menjaga dan memonitor penggunaan anggaran tersebut mendukung tercapainya tujuan pendidikan nasional. Semoga awal yang baik ini dapat menjadi titik bangkit dunia pendidikan Indonesia yang bertepatan dengan tahun peringatan seabad Hari Kebangkitan Nasional.


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com

Resensi: Heboh Ahmadiyah, Mengapa Ahamadiyah tidak langsung dibubarkan?

BERGEMING MEMURTADKAN AHMADIYAH


















Judul Buku : Heboh Ahmadiyah: Mengapa Ahamadiyah tidak langsung dibubarkan?
Penulis : A. Yogaswara
Penerbit : Narasi
Cetakan : I, 2008
Tebal : 104 Halaman
Peresensi : M. Asrori Ardiansyah*

Hiruk-pikuk soal ahmadiyah masih terus berlangsung. Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dirumuskan oleh tiga menteri tak juga meredam polemik tanpa ujung soal ahmadiyah. SKB yang diharapkan dapat mengakhiri pro-kontra ajaran Mirza Ghulam Ahmad ini menjadi kontraproduktif. Para pengikut Ahmadiyah beranggapan bahwa pemerintah telah memberangus hak asasi mereka dalam menjalankan keyakinan yang mereka miliki. Namun, di lain pihak, mereka yang menolak Ahmadiyah beranggapan bahwa pemerintah tidak tegas dalam �memvonis� ajaran yang telah dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.
Kehadiran SKB yang tadinya diharapkan mampu mengakhiri segala polemik yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia tersebut ternyata masih menyisakan ketidakpuasan, baik dari penganut maupun penolak Ahmadiyah. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Menteri Agama, lambannya proses SKB lebih dikarenakan keinginan pemerintah untuk memberikan keputusan terbaik sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku (hal. 95).

Lambannya proses SKB juga berusaha digugat oleh penulis buku ini sebagai salah satu wujud ketidaktegasan pemerintah dalam usahanya mengakhiri polemik Ahmadiyah. Bahkan, SKB sendiri sebenarnya baru diwacanakan oleh pemerintah setelah serangkaian aksi massa yang cenderung anarkis terjadi di mana-mana. Aksi-aksi anarkis seputar Ahmadiyah ini mencapai klimaksnya pada tanggal 1 Juni 2008 di lapangan Monas.

Pada saat itu, sekelompok orang yang diidentifikasi dari kelompok Laskar Islam, sebagai bagian dari Front Pembela Islam (FPI), menyerbu apel peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang dihadiri oleh anggota Ahmadiyah. Meski tidak ada korban jiwa, namun beberapa orang terluka karena dipukuli. Aksi ini pun dianggap mencederai kedamaian dan kerukunan beragama di negeri ini.

Terdesak oleh keadaan, pemerintah buru-buru mengeluarkan SKB bernomor 199 tahun 2008 tentang peringatan dan perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat yang dikeluarkan pada 9 Juni 2008.

Namun, Isi SKB yang �remang-remang� tersebut ternyata belum dapat menyejukkan kedua belah pihak yang berkepentingan. Bahkan muncul �pertikaian� baru dari beberapa tokoh nasional menyikapi SKB tersebut. Statemen-statemen para tokoh semisal Gus Dur, Todung Mulya Lubis, Munarman, Didin Hafihuddin dan lain-lain dihadirkan secara �konfrontatif� dalam beberapa bagian buku ini.

Kontroversi Ahmadiyah
��Aku Adam, aku Seth, aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ismail, aku Ya�qub, aku Yusuf, aku Musa, aku Daud, aku Isa, dan aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad saw�� demikian ujar Mirza sebagaimana tercatat dalam majalah bulanan Ahmadiyah, Sinar Islam, Edisi 1 Nopember 1985.

Pokok perdebatan antara pihak Ahmadiyah dan umat muslim lainnya adalah tentang posisi pencetus aliran Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad. Pihak Ahmadiyah percaya bahwa Mirza adalah nabi yang turun setelah kenabian Muhammad saw dan menerima wahyu langsung dari Allah swt. Namun bagi umat Islam yang percaya Muhammad saw adalah nabi terakhir, tentu terasa janggal keyakinan dari aliran yang muncul pertama kali di Qadian, Punjab, India ini.

Sejak kemunculannya, aliran ahmadiyah seperti tak tertahan dan terus memperoleh simpati dari penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Ribuan bahkan jutaan orang kemudian masuk menjadi pengikutnya. Nama Mirza pun semakin harum disanjung-sanjung. Sosok Mirza semakin menjadi kontroversi, karena oleh pengikutnya, ia tak saja dianggap sebagai nabi namun juga menjadi Imam Mahdi atau bahkan al-Masih yang dijanjikan.

Inilah yang mendorong MUI, dengan tanpa ragu, melalui fatwanya memvonis kesesatan aliran Ahmadiyah. Kontroversi pun menyeruak manakala pemerintah bersikap ragu dalam mengambil tindakan. Aksi kekerasan dilancarkan sekelompok organisasi Islam terhadap warga Ahmadi. Bukannya terpuruk, Ahmadiyah justru kebanjiran simpati dari sebagian ulama dan intelektual muslim yang tak sependapat dengan pemaksaan kehendak dalam kehidupan beragama. Umat Islam di Indonesia pun terbelah menjadi dua, antara yang pro dan kontra terhadap Ahmadiyah.

Pro dan kontra yang hadir membuat pemerintah bagai dihidangi buah simalakama. Membubarkan Ahmadiyah, tentu bakal menuai kritik dari dunia internasional sebagai pelanggaran HAM dan demokrasi. Sementara membiarkan Ahmadiyah tetap menjalankan aktivitasnya bisa berujung pada gelombang protes yang semakin menjadi-jadi. Posisi pemerintah menjadi serba sulit.

Alternatif Solusi
Kontroversi Ahamadiyah tidak begitu saja hilang setelah terbitnya SKB. Umat Islam masih saja terbagi dalam dua kelompok yang bersikukuh dengan pandangannya. Adakah jalan untuk mengakhiri perbedaan ini demi menyelamatkan wajah Islam yang terancam perpecahan?

Yogaswara, penulis buku ini, bermodal kutipan saran dari Amin Jamaluddin, Yusril Ihza Mahendra dan mungkin Hasyim Muzadi, mengajak sidang pembaca untuk mengintip peristiwa yang sama di negeri Pakistan. Beberapa tahun yang lalu umat Islam di negeri itu mengalami peristiwa yang sama dengan yang terjadi di negeri ini saat ini. Gelombang aksi massa yang mengakibatkan jatuhnya korban telah memaksa pemerintah setempat untuk mengakhiri konflik dengan menerbitkan �SKB versi Pakistan� yang intinya berisi pernyataan bahwa Ahmadiyah digolongkan sebagai minoritas non-Muslim. Campur tangan pemerintah ternyata cukup efektif dalam membendung gelombang aksi anarkis terkait Ahmadiyah di negeri itu.

Sayang, Yogaswara tidak mengupas secara rigit ihwal pilihannya terhadap Pakistan sebagai salah satu negara yang dihuni oleh warga Ahmadi. Padahal, masih terdapat puluhan negara lain yang cukup sukses meredam polemik ajaran Mirza ini. Kondisi Pakistan sejak pra hingga pasca-vonis juga tidak diuraikan dalam buku ini. Padahal, sidang pembaca tentu bertanya-tanya, relakah warga Ahmadi dicerabut status Islamnya dari diri mereka? Lantas, bagaimana pula dengan simbol-simbol dan praktik ubudiyah warga Ahmadi yang bersumber dari nafas Islam pasca �pemurtadan� tersebut? Bagaimanapun, alasan utama mereka memilih Ahmadiyah adalah keyakinan hati yang dilandasi akan kebenaran Islam.

Pertanyaan-pertanyaan besar tersebut belum sepenuhnya dijawab oleh penulis buku ini. Kendati demikian, alternati solusi yang disodorkan Yogaswara di bab akhir buku ini bagaimanapun terlalu mewah untuk tidak diafirmasi. Sebab, di tengah perang argumen yang tak berujung; di saat umat Muslim telah jumud dengan pertikaian antar sekte dan aliran; dan di saat Islam bukan saja menjadi salah satu agama yang paling banyak disorot dan disalahpahami, tapi sekaligus selalu di-�kambinghitam�-kan dalam segala wacana kekerasan, gagasan (si)apa pun yang membersitkan harapan menciptakan iklim beragama yang kondusif selalu tak kehabisan makna serta pesona untuk dirayakan.

*M. Asrori Ardiansyah, Alumni Pesantren Gontor.

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com