Tampilkan postingan dengan label Manajemen Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manajemen Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 April 2011

Artikulasi Nilai Kepemimpinan Kepala Sekolah

Menurut Ekosusilo, istilah �nilai� merupakan istilah yang tidak mudah untuk didefinisikan dan dibatasi secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak. Sedangkan EM. Kaswardi menuyebutkan nilai adalah realitas abstrak yang merupakan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman hidup seseorang. Nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan di mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan.

Nilai juga dapat didefinisikan sebagai ide-ide mendasar yang sesuai dengan yang diinginkan, yang benar, dan yang baik oleh sebagian besar anggota organisasi. Sekolah sebagai organisasi mempunyai nilai-nilai yang diyakini oleh anggota organisasi yang termanifestasi pada cara berpikir, bertindak, dan menyikapi hal-hal yang terkait dengan sekolah.
Nilai dan keyakinan dalam kepemimpinan merupakan landasan filosofis semangat organisasi (spirit of organization) sehingga roda organisasi dapat bergerak sesuai dengan visi dan misi yang diharapakan. Nilai dan keyakinan seorang pemimpin tentang organisasi yang dipimpinnya merupakan dimensi terdalam dari nilai-nilai universal yang diemban sekolah, yang merupakan refleksi dari nilai dan keyakinan warga sekolah.

Nilai dan keyakinan yang dimiliki seorang pemimpin, biasanya termanifestasi dalam diri organisasi. Di mana pemimpin berupaya agar nilai dan keyakinannya dapat menjadi harapan dan milik anggota organisasi. Peran dan tanggung jawab kepala sekolah adalah untuk mentransformasi nilai dan keyakinan agar terwujud dalam perilaku organisasi. Kepala sekolah mengarahkan nilai dan keyakinan untuk membangun budaya sekolah unggul (culture of excellence school).

Nilai dan keyakinan dalam organisasi sekolah yang perlu menjadi perhatian untuk mencapai keunggulan sekolah (excellence school) yaitu kualitas, keefektifan, persamaan, efisiensi, dan pemberdayaan. Keunggulan sekolah tercapai karena didukung dengan nilai-nilai dasar yang diyakini kepala sekolah dan anggota organisasi. Nilai dan keyakinan tersebut bersifat laten dan termanifestasi dalam kehidapan sehari-hari, seperti nilai keunggulan, nilai ibadah (pengabdian), nilai tanggung jawab dan sebagainya.

Sejauh mana nilai dan keyakinan dapat memberikan kontribusi dalam menggerakkan roda organisasi sangat tergantung pada peran dan tanggung jawab kepala sekolah. Ia dituntut untuk mengkomunikasikan nilai dan keyakinan organisasi agar memberikan dampak positif terhadap perilaku anggotanya. Siswa, guru, staf, orang tua, dan masyarakat harus memahami, menghayati, dan mengartikulasikan nilai dan keyakinan sekolah untuk mencapai tujuan.

Kepala sekolah diharapkan dapat membangun nilai dan keyakinan sekolah yang kokoh sebagai landasan untuk membangun sekolah yang baik (good school). Nilai dan keyakinan dapat menjadi landasan moral perilaku anggota organisasi sekolah. Kepala sekolah membangun nilai dan keyakinan anggota didasarkan pada visi dan misi sekolah tersebut.

Nilai-nilai pendidikan dapat diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan yang saling terkait satu sama lainnnya, yaitu:
1) Creative values (nilai-nilai kreatif), dalam hal ini berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan termasuk usaha merealisasikan nilai-nilai kreatif.
2) Experimental values (nilai-nilai penghayatan); meyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan nilai-nilai yang dianggap berharga.
3) Attitudinal values (nilai-nilai bersikap); menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tak dapat dihindari lagi setelah melakukan upaya secara optimal, tetapi tidak berhasil mengatasinya.

Adapun norma dapat dipahami sebagai seperangkat ketentuan yang berlangsung secara alami dan ditetapkan oleh suatu kelompok untuk ditaati bersama. Norma dapat berupa adat istiadat dan peraturan. Norma menjadi referensi anggota dalam perpikir dan bertindak terhadap tujuan yang akan dicapai. Itulah sebabnya sekolah yang memiliki norma-norma keagungan akan melahirkan karakteristik budaya yang berkualitas.

Sekolah yang memiliki budaya mutu dapat dilihat dari kemampuan sekolah ini untuk menciptakan seperangkat norma sebagai acuan warga sekolah dalam berprilaku di sekolah. Kepala sekolah, guru, siswa, staf, dan lainnya tanpa norma yang tertanam dalam aktivitas sehari-hari akan sulit untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Oleh karenanya kepala sekolah dituntut untuk membangun norma sekolah agar tercapai iklim sekolah yang bermutu.

Seperangkat peraturan sekolah merupakan bentuk norma yang terorganisir dalam suatu organisasi sekolah. Peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis merupakan bagian dari norma sekolah, yang merupakan budaya sekolah. Semakin tinggi norma yang ditetapkan dalam sekolah maka semakin tinggi budaya mutu yang lahir di sekolah.


Rujukan:
1. Madyo Ekosusilo, Sekolah Unggul Berbasis Nilai: Studi Multikasus di SMA Negeri 1, SMA Regina Pacis, dan SMA Al Islam 1 Surakarta (Sukoharjo: Bantara Press, 2003), 22.
2. EM. Kaswardi, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta : Gramedia, 1993), 20.
3. Asrin, Kepemimpinan Kepala Sekolah Pada Budaya Mutu di Sekolah; Studi Multikasus di SMAN Agung Dan SMAI Kartini Di Kota Bunga (Malang: Disertasi UM Tidak Diterbitkan, 2006), 56-58


Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Nilai-nilai (Religiusitas) Agama di Sekolah

Sejak pemikiran manusia memasuki tahap positif dan fungsional sekitar abad ke-18, pendidikan (baca: pendidikan agama) mulai digugat eksistensinya. Suasana kehidupan modern dengan kebudayaan massif serta terpenuhinya berbagai mobilitas kehidupan secara teknologis-mekanis, pada satu sisi telah melahirkan krisis etika dan moral. Meminjam bahasanya Zainuddin, Manusia di penjuru dunia ini cenderung mengabaikan aturan-aturan yang diberikan oleh Tuhan dan memisahkan fungsi pengaturan kehidupan dari campur tangan agama (sekuler ).

Dalam konteks ke-Indonesiaan, badai krisis tersebut puncak kulminasinya terjadi pada bulan Mei 1998 berupa kerusuhan yang telah memporak-porandakan tatanan nilai agama dan masyarakat. Etika dan tatakrama yang selama ini terinternalisasi dalam budaya anak bangsa yang santun, berubah menjadi gugusan retorika yang tak bermakna. Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ber- tipikal Qur�anik karena indahnya kehidupan di tengah kondisi bangsa yang serba plural, menjadi bangsa kanibal (pemangsa sesamanya) yang menakutkan dan menjijikkan.

Krisis moral tersebut tidak hanya melanda masyarakat lapisan bawah (grass root), tetapi juga meracuni atmosfir birokrasi negara mulai dari level paling atas sampai paling bawah. Munculnya fenomena white collar crimes (kejahatan kerah putih atau keja�hatan yang dilakukan oleh kaum berdasi, seperti para eksekutif, birokrat, guru, politisi atau yang setingkat dengan mereka), serta isu KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh para elit, merupakan indikasi kongkrit bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multidimensional.

Realitas di atas mendorong timbulnya berbagai gugatan terhadap efektivitas pendidikan agama yang selama ini dipandang oleh sebagian besar masyarakat telah gagal dalam membangun afeksi anak didik dengan nilai-nilai yang eternal serta mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah (aktual). Terlebih lagi dalam hal ini, dunia pendidikan yang mengemban peran sebagai pusat pengembangan ilmu dan SDM, pusat sumber daya penelitian dan sekaligus pusat kebudayaan kurang berhasil dalam mengemban misinya. Sistem pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pengisian kognitif mahasiswa un-sich, sehingga melahirkan lulusan yang cerdas tetapi kurang bermoral. Aspek afeksi dan psikomotor yang sangat vital keberadaannya terabaikan begitu saja.

Fenomena di atas tidak terlepas dari adanya pemahaman yang kurang benar tentang agama (religi) dan keberagaan (religiusitas). Agama sering kali dimaknai secara dangkal, tekstual dan cenderung esklusif. Nilai-nilai agama hanya dihafal sehingga hanya berhenti pada wilayah kognisi, tidak sampai menyentuh aspek afeksi dan psikomotorik.
Keberagamaan (religiusitas) tidak selalu identik dengan agama. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan, dalam aspek yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya. Sedangkan keberagamaan atau religiusitas lebih melihat aspek yang "di dalam lubuk hati nurani" pribadi. Dan karena itu, religiusitas lebih dalam dari agama yang tampak formal.

Istilah nilai keberagamaan (religius) merupakan istilah yang tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan sebuah realitas yang abstrak. Secara etimologi nilai keberagamaan berasal dari dua kata yakni: nilai dan keberagamaan. Menurut Rokeach dan Bank bahwasannya nilai merupakan suatu tipe kepercayaan yang berada pada suatu lingkup sistem kepercayaan di mana seseorang bertindak untuk menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang dianggap pantas atau tidak pantas. Ini berarti pemaknaan atau pemberian arti terhadap suatu objek. Sedangkan keberagamaan merupakan suatu sikap atau kesadaran yang muncul yang didasarkan atas keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap suatu agama.
Menurut Gay Hendricks dan Kate Ludeman dalam Ari Ginanjar, terdapat beberapa sikap agama yang tampak dalam diri seseorang dalam menjalankan tugasnya, di antaranya:

a. Kejujuran
Rahasia untuk meraih sukses menurut mereka adalah dengan selalu berkata jujur. Mereka menyadari, justru ketidakjujuran kepada pelanggan, orangtua, pemerintah dan masyarakat, pada akhirnya akan mengakibatkan diri mereka sendiri terjebak dalam kesulitan yang berlarut-larut. Total dalam kejujuran menjadi solusi, meskipun kenyataan begitu pahit.
b. Keadilan
Salah satu skill seseorang yang religius adalah mampu bersikap adil kepada semua pihak, bahkan saat ia terdesak sekalipun. Meraka berkata, "pada saat saya berlaku tidak adil, berarti saya telah mengganggu keseimbangan dunia.
c. Bermanfaat bagi Orang Lain
Hal ini merupakan salah satu bentuk sikap religus yang tampak dari diri seseorang. Sebagaimana sabda Nabi saw: "sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain".
d. Rendah Hati
Sikap rendah hati merupakan sikap tidak sombong mau mendengarkan pendapat orang lain dan tidak memaksakan gagasan atau kehendaknya. Dia tidak merasa bahwa dirinyalah yang selalu benar mengingat kebenaran juga selalu ada pada diri orang lain.
e. Bekerja Efisien
Mereka mampu memusatkan semua perhatian mereka pada pekerjaan saat itu, dan begitu juga saat mengerjakan pekerjaan selanjutnya. Mereka menyelesaikan pekerjaannya dengan santai, namun mampu memusatkan perhatian mereka saat belajar dan bekerja.
f. Visi ke Depan
Mereka mampu mengajak orang ke dalam angan-angannya. kemudian menjabarkan bagitu terinci, cara-cara untuk menuju kesana. Tetapi pada saat yang sama ia dengan mantap menatap realitas masa kini.
g. Disiplin Tinggi
Mereka sangatlah disiplin. Kedisiplinan mereka tumbuh dari semangat penuh gairah dan kesadaran, bukan berangkat dari keharusan dan keterpaksaan. Mereka beranggapan bahwa tindakan yang berpegang teguh pada komitmen untuk diri sendiri dan orang lain adalah hal yang dapat menumbuhkan energi tingkat tinggi
h. Keseimbangan
Seseorang yang memiliki sifat beragama sangat menjaga keseimbangan hidupnya, khusunya empat aspek inti dalam kehidupannya, yaitu: keintiman, pekerjaan, komunitas dan spiritualitas.

Dalam kontek pembelajaran, beberapa nilai agama tersebut bukankan tanggung jawab guru agama semata. Kejujuran tidak hanya disampaikan lewat mata pelajaran agama saja, tetapi juga lewat mata pelajaran lainnya. Misalnya seorang guru matematika mengajarkan kejujuran lewat rumus-rumus pasti yang menggambarkan suatu kondisi yang tidak kurang dan tidak lebih atau apa adanya. Begitu juga seorang guru ekonomi bisa menanamkan nilai-nilai keadilan lewat pelajaran ekonomi. Seseorang akan menerima untung dari suatu usaha yang dikembangkan sesuai dengan besar kecilnya modal yang ditanamkan. Dalam hal ini, aspek keadilanlah yang diutamakan.

Keberagamaan atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.

Menurut Nurcholis Madjid, agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan membaca do�a. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridla atau perkenan Allah. Agama dengan demikian meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian.

Dewasa ini telah muncul suatu kajian agama yang menggunakan antropologi dan sosiologi sebagai basis pendekatannya. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan serta memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara yang digunakan disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah, dapat pula digunakan untuk memahami agama. Untuk itu, Berbagai pendekatan dalam memahami agama yang selama ini digunakan, akan dipandang pincang tanpa memahami realitas yang melingkupi manusia yang tercermin dari budayanya.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nilai agama adalah nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan tumbuh-kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu aqidah, ibadah dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai dengan aturan-aturan Illahi untuk mencapai kesejahteraan serta kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Bila nilai-nilai agama tersebut telah tertanam pada diri siswa dan dipupuk dengan baik, maka dengan sendirinya akan tumbuh menjadi jiwa agama.

Dalam hal ini jiwa agama merupakan suatu kekuatan batin, daya dan kesanggupan dalam jasad manusia yang menurut para ahli Ilmu Jiwa Agama, kekuatan tersebut bersarang pada akal, kemauan dan perasaan. Selanjutnya, jiwa tersebut dituntun dan dibimbing oleh peraturan atau undang-undang Illahi yang disampaikan melalui para Nabi dan Rosul-Nya untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraan baik di kehidupan dunia ini maupun dan di akhirat kelak.

Bila jiwa agama telah tumbuh dengan subur dalam diri siswa, maka tugas pendidik selanjutnya adalah menjadikan nilai-nilai agama sebagai sikap beragama siswa. Sikap keberagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya kepada agama. Sikap keagamaan tersebut karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif/ psikomotorik. Jadi sikap keagamaan pada anak sangat berhubungan erat dengan gejala kejiwaan anak yang terdiri dari tiga aspek tersebut.


Rujukan:
1. Zainuddin, Tantangan Pendidikan Tinggi Islam Pada Millenium Ketiga, dalam tabloid GEMA STAIN Malang, edisi Mei-Juni 2000, 2.
2. Moh. Yunus, �Pluralitas Agama dan Kekerasan Kolektif, Perspektif Sosiolagi Agama�, Dalam majalah el-Harakah STAIN Malang, Edisi April � Juni 2000, 26.
3. Lihat dalam A. Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial :Mendidik Anak Sukses Masa Depan : Pandai dan Bermanfaat, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), 8-14.
4. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. RemajaRosdakarya: 2004), 288.
5. Madyo Ekosusilo, Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai (Studi Multi Kasus di SMA Negeri 1, SMA Regia Pacis, dan SMA Al Islam 01 Surakarta), Sukoharjo: Univet Bantara Press, 2003), 22.
6. Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuah Inner Journey Melalui Ihsan, (Jakarta: ARGA, 2003), 249.
7. Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 76.
8. Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, ( Jakarta: Paramadina, 1997), 124.
9. Akhmad Taufiq, et. Al., Metodologi Studi Islam, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), 15.
10. Jamhari Ma'ruf, �Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam,� http://www.ditpertais.net/artikel/ jamhari01.asp, (diakses pada 17 September 2007), 1.
11. Muhaimin dan Abdul Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Triganda Karya, 1993), 35.



Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Selasa, 05 April 2011

Aplikasi Kurikulum Program Akselerasi (berdiferensiasi)

Kurikulum berdiferensiasi yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dengan cara memberikan pengalaman belajar yang berbeda dalam arti kedalaman, keluasan, percepatan, maupun dalam jenisnya.

Jadi perubahan kurikulum itu dapat terwujud dalam berbagai bentuk berikut ini:
a. Perubahan bersifat vertikal, di mana peserta didik diperkenalkan pada isi kurikulum tertentu yang tidak diperoleh teman-temannya di kelas reguler.
b. Perubahan bersifat horisontal, berupa penyajian materi dengan keluasan, kedalaman, dan intensitas yang lebih ditingkatkan dari pada biasanya. Di sini kurikulum disesuaikan dengan tingkat berfikir abstrak yang lebih tinggi, konseptualisasi lebih meluas, dan peningkatan kreativitas.
c. Pengalaman belajar yang baru, yang tidak ada dalam kurikulum umum, misalnya pada tingkat SMA diberikan pelajaran seperti: Ilmu Kelautan, Metodologi Penelitian, Psikologi Sosial, Ilmu Politik, Ilmu Hukum, dan sebagainya.

Dalam kenyataannya, mendiferensiasikan kurikulum berarti mengubah konten proses, produk, dan situasi (lingkungan belajar). Hal ini bisa dilaksanakan pada setiap jenjang pendidikan dengan memperhatikan faktor kematangan intelektual, latar belakang, dan kesiapan belajar serta interes siswa.

Bruner dalam kaitan dengan ini menyatakan, hendaklah beranjak dari hipotesis bahwa mata pelajaran apa pun bisa diajarkan secara efektif dengan cara yang jujur pada setiap anak dalam kondisi perkembangan kapan pun.
Dikuatkan juga oleh Sutratinah Tirtonegoro, bahwa untuk melayani pendidikan Anak Supernormal maka perencanaan kurikulum harus mengalami perubahan-perubahan antara lain:
a. Memperkaya kurikulum dengan menambah mata pelajaran.
b. Memberi kesempatan memperkembangkan sosial, emosi, dan kebudayaan.
c. Dengan mengadakan Sekolah Khusus, Kelas Khusus, dan Fasilitas-fasilitas khusus.
d. Untuk SLTA lebih diperluas dan diperdalam.
e. memberi kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh pengalaman lebih banyak untuk perkembangan bakatnya.

Sebagai contoh ada 2 macam cara yang memperkaya kurikulum yaitu:
a. Kurikulum dipadat cepatkan (Process Acceleration) terutama untuk pengetahuan-pengetahuan seperti: Sains, Matematika, dan Bahasa Asing.
b. Kurikulum diperluas dan diperkaya isinya.

Rujukan:
1. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. 2003. Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 41-42
2. Conny Semiawan, Perspektif Pendidikan Anak Berbakat (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 1997), hlm. 141
3. Sutratinah Tirtonegoro. 2001. Anak Supernormal Dan Program Pendidikannya. Yogyakarta: Bumi Aksara., hlm. 120


Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Manajemen Penyelenggaraan Program Akselerasi

Manajemen berasal dari kata to manage (inggris) yang berarti mengatur, mengelola, menata, mengurus, atau mengendalikan. Dengan kata lain pengertian manajemen tersebut merupakan proses mengatur, mengelola, menata atau mengendalikan.

Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

A. Rekrutmen Siswa
Rekrutmen peserta program akselerasi didasarkan atas dua tahap, yaitu tahap 1 dan tahap 2.
1) Tahap 1
Tahap 1 dilakukan dengan meneliti dokumen data seleksi Penerimaan Siswa Baru (PSB). Kriteria lolos pada tahap 1 didasarkan atas kriteria tertentu yang berdasarkan skor data berikut.
- Nilai Ebtanas Murni (NEM) SD ataupun SLTP.
- Skor tes seleksi akademis.
- Skor tes psikologi yang terdiri atas kluster, yaitu intelegensi yang diukur dengan menggunakan tes CFIT skala 3B, kreativitas yang diukur dengan menggunakan Tes Kreativitas Verbal-Short Battere,dan task Commitment yang diukur dengan menggunakan skala TC-YA/FS revisi. Selain faktor kemampuan umum tersebut, untuk melihat faktor kepribadian, dilakukan pula tes motivasi berprestasi, penyesuain diri, stabilitas emosi, ketekunan, dan kemandirian dengan menggunakan alat tes EPPS yang direvisi. Biasanya, persentase yang lolos dalam tahap ini berkisar antara 15-25% dari jumlah siswa yang diterima dalam seleksi Penerimaan Siswa Baru.
2) Tahap 2 Penyaringan
Penyaringan dilakukan dengan dua strategi berikut:
- Strategi Informasi Data Subjektif
Informasi data subjektif diperoleh dari proses pengamatan yang bersifat kumulatif. Informasi dapat diperoleh melalui check list perilaku, nominasi oleh guru, nominasi oleh orang tua, nominasi oleh teman sebaya, dan nominasi dari diri sendiri.
- Strategi Informasi data Objektif
Informasi data objektif diperoleh melalui alat-alat tes lebih lengkap yang dapat memberikan informasi yang lebih beragam (berdiferensiasi), seperti Tes Intelegensi Kolektif Indonesia (TIKI) dengan sebelas subtes, tes Weschler Intelligence Scale For Children Adaptasi Indonesia dengan sepuluh subtes, dan Baterai Tes Kreativitas verbal dengan enam subtes.
Kedua strategi tersebut dapat digunakan secara bersama-sama untuk memberikan informasi yang lebih lengkap dan utuh tentang siswa yang memiliki tingkat keberbakatan intelektual yang tinggi dan diharapkan mampu untuk mengikuti Program Akselerasi (biasanya jumlah yang tersaring berkisar antara 3-10%).
Kriteria yang ditetapkan berdasarkan persyaratan Buku Pedoman Penyelenggaraan Program Akselerasi, adalah sebagai berikut:
a) Informasi Data Obyektif, yang diperoleh dari pihak sekolah berupa skor akademis dan pihak psikolog (yang berwenang) berupa skor hasil pemeriksaan psikologis.
(1) Akademis, yang diperoleh dari skor:
- Nilai Ujian Nasional dari sekolah sebelumnya, dengan rata-rata 8,0 ke atas baik untuk SMP maupun SMA. Sedangkan untuk SD tidak dipersyaratkan.
- Tes kemampuan akademis, dengan nilai sekurang-kurangnya 8,0.
- Rapor, nilai rata-rata seluruh mata pelajaran tidak kurang dari 8,0.
(2) Psikologis, yang diperoleh dari hasil pemeriksaan psikolog yang meliputi tes inteligensi umum, tes kreativitas, dan inventori keterikatan pada tugas. Peserta didik yang lulus tes psikologis adalah mereka yang memiliki kemampuan intelektual umum dengan kategori jenius (IQ = 140) atau mereka yang memiliki kemampuan intelektual umum dengan kategori cerdas (IQ = 125) yang ditunjang oleh kreativitas dan keterikatan terhadap tugas dalam kategori di atas rata-rata.

b) Informasi Data Subyektif, yaitu nominasi yang diperoleh dari diri sendiri, teman sebaya, orang tua, dan guru sebagai hasil dari pengamatan dari sejumlah ciri-ciri keberbakatan.
c) Kesehatan fisik, yang ditunjukkan dengan surat keterangan sehat dari dokter.
d) Kesediaan calon siswa percepatan dan persetujuan orang tua, yaitu pernyataan tertulis dari pihak penyelenggara program percepatan belajar untuk siswa dan orang tua tentang hak dan kewajiban serta hal-hal yang dianggap perlu dipatuhi untuk menjadi peserta program percepatan belajar.

B. Bentuk Penyelenggaraan Program Akselerasi
Menurut Clark, 1983 (dalam Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah) ditinjau dari bentuk penyelenggaraanya, program akselerasi dapat dibedakan menjadi:
a) Kelas Reguler
Dimana siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa tetap berada bersama-sama dengan siswa lainnya di kelas reguler (model inklusif). Bentuk penyelenggaraan pada kelas reguler dapat dilakukan dengan model sebagai berikut:
� Kelas reguler dengan kelompok (Cluster), akseleran belajar dengan siswa lain di kelas reguler dalam kelompok khusus
� Kelas reguler dengan Pullout, akseleran belajar bersama-sama dengan siswa lain dalam kelas reguler tetapi sewaktu-waktu ditarik fari kelas reguler ke ruangan khusus untuk belajar mandiri, belajar kelompok dan belajar dengan guru pembimbing khusus
� Kelas reguler dengan Cluster dan Pullout, akseleran yang berada di kelas reguler dikelompokkan dalam kelompok khusus dan waktu tertentu dapat ditarik dari kelas reguler ke ruang khusus untuk belajar mandiri, belajar kelompok dengan guru pembimbing khusus.
b) Kelas Khusus
Dimana siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa belajar dalam kelas khusus.
c) Sekolah Khusus
Satu sekolah hanya menyelenggarakan satu bentuk pelayanan pendidikan, yaitu hanya program akselerasi. Pada model ini siswa dapat masuk asrama atau tidak. Keuntungan jika ada asrama adalah waktu belajar lebih panjang, memudahkan kegiatan ekstra kurikuler, jika tidak ada asrama keuntungannya adalah memepermudah untuk berinteraksi dengan sekolah lain. Kelemahan model ini dengan adanya asrama adanya pemisahan dengan keluarga dan harus menyesuaikan diri sedang tanpa asrama kelemahannya timbulnya penilain yang berlebih dari masyarakat sehingga menimbulkan jarak antara siswa akselerasi dengan siswa reguler yang kurang baik.

Hal senada juga dijelaskan Utami Munandar bahwa program pendidikan bagi siswa berbakat dapat diselenggarakan diantaranya melalui program akselerasi (percepatan belajar). Program tersebut dapat diselenggarakan berdasarkan pengelompokan anak berbakat di dalam kelas biasa, pengelompokan di dalam kelas khusus untuk waktu-waktu tertentu, atau untuk seluruh waktu pelajaran (pengelompokan di dalam sekolah khusus).

Dijelaskan oleh Jeniah Alim (dalam Reni Akbar-Hawadi) Sesuai dengan prinsip individual differences, pelayanan atau pendidikan untuk anak berkemampuan di atas rata-rata perlu dilaksanakan. Pelaksanaannya diatur sebagai berikut: (a) Menyusun pembelajaran terprogram berdasarkan analisis kurikulum; (b) Menyiapkan sarana dan prasarana penunjang; (c) Menetapkan model pelaksanaan sesuai dengan kondisi sekolah; (d) Menelaah peserta didik; dan (e) Penilaian terpadu yang terus menerus dan berkesinambungan.


Rujukan:
1. John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 1996) hlm. 372
2. Reni Akbar-Hawadi Dkk, Kurikulum Berdiferensiasi, ( Jakarta: Grasindo Widiasarana Indonesia, 2001), hlm. 116-123.
3. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. 2003. Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 28-29
4. Utami Munandar, Mengembangkan bakat dan Kreativitas Anak Sekolah Penuntun Bagi Guru dan Orang Tua, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 143


Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Kurikulum Program Akselerasi

Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyeleggaraa kegiatan belajar-mengajar. Sedang menurut (Tyler 1949, dalam Siskandar) pengertian kurikulum mencakup empat pertanyaan yang mendasar yang harus dijawab dalam mengembangkan kurikulum dan rencana pengajaran yaitu (a) apa tujuan yang harus dicapai oleh sekolah, (b) pengalaman-pengalaman belajar seperti apa yang dapat dilaksanakan guna mencapai tujuan yang dimaksud, (c) bagaimana pengalaman tersebut diorganisasikan secara efektif, dan (d) bagaimana cara menentukan bahwa tujuan pendidikan telah tercapai.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan kurikulum memiliki empat unsur, yaitu: (1) tujuan yang ingin dicapai, (2) struktur dan isi kurikulum yang berupa mata pelajaran dan kegiatan serta pembagian waktu yang dugunakan dalam kegiatan belajar-mengajar, (3) pengorganisasian kegiatan belajar-mengajar, dan (4) penilaian utuk mengetahui apakah tujuan telah tercapai atau belum.

Muatan materi kurikulum untuk program akselerasi tidak berbeda dengan kurikulum standar yang digunakan untuk program regular. Perbedaannya terletak pada penyusunan kembali struktur program pengajaran dalam alokasi waktu yang lebih singkat. Program akselerasi ini akan menjadikan kurikulum standar yang biasanya ditempuh siswa SMA dalam tiga tahun menjadi hanya dua tahun. Pada tahun pertama, siswa akan mempelajari seluruh materi kelas 1 ditambah dengan setengah materi kelas 2. Di tahun kedua, mereka akan mempelajari materi kelas 2 yang tersisa dan seluruh materi kelas 3.

Pengaturan kembali program pembelajaran pada kurikulum standar yang biasanya diberikan dengan alokasi waktu sembilan cawu menjadi enam cawu dilakukan tanpa mengurangi isi kurikulum. Kuncinya terletak pada analisis materi kurikulum dengan kalender akademis yang dibuat khusus. Seperti diketahui, untuk siswa berbakat intelektual dengan keberbakatan tinggi, tidak semua materi kurikulum standar perlu disampaikan dalam bentuk tatap muka dan atau dengan irama belajar yang sama dengan siswa regular.

Oleh karena itu, setiap guru yang mengajar di kelas akselerasi perlu terlebih dahulu melakukan analisis materi pelajaran untuk menentukan sifat materi yang esensial dan kurang. Suatu materi dikatakan memiliki konsep esensial bila memenuhi kriteria berikut ini: (1) konsep dasar; (2) konsep yang menjadi dasar untuk konsep berikut; (3) konsep yang berguna untuk aplikasi; (4) konsep yang sering muncul pada Ebtanas; (5) konsep yang sering muncul pada UMPTN untuk SMA. Materi pelajaran yang diidentifikasi sebagai konsep-konsep yang esensial diprioritaskan untuk diberikan secara tatap muka, sedangkan materi-materi yang non-esensial, kegiatan pembelajarannya dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan mandiri

Dijelaskan juga oleh Conny R Semiawan, sesuai dengan karakter anak yang berkemampuan kecerdasan di atas rata-rata ini, kurikulum atau GBPP atau materi pelajaran telah didiskusikan dan disusun oleh pusat pengembangan kurikulum sejak 1981. Sebelum uji coba pelaksanaan Program Anak Berbakat dilaksanakan tahun 1984 kurikulum berdeferensiasi dibuat. Dikaitkan dengan hal di atas kemampuan gurulah yang selalu harus ditingkatkan, misalnya kecekatan dalam hal menganalisis kurikulum sesuai perkembangan anak dan kebutuhan penanjakan kemampuan fikir atau mental anak dan membuat anak senang belajar.

Kurikulum yang digunakan pada program akselerasi adalah kurikulum Nasional dan muatan lokal, yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi yang esensi dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi integrasi pengembangan spiritual, logika, etika, dan estetika serta mengembangkan kemampuan berfikir holistik, kreatif, sistemik, linier, dan konvergen utuk memenuhi tuntutan masa kini dan masa depan.

Dengan demikian kurikulum program akselerasi adalah kurikulum yang diberlakukan untuk satuan pendidikan yang bersangkutan, sehingga lulusan program akselerasi memiliki kualitas dan standar kompetensi yang sama dengan lulusan program reguler. Perbedaannya hanya terletak pada waktu keseluruhan yang ditempuh dalam menyelesaikan pendidikannya lebih cepat bila dibanding dengan program reguler.

Kurikulum akselerasi ini dikembangkan secara diferensiatif. Artinya kurikulum yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Diferensiasi dalam kurikulum akselerasi menurut Cledening & Davies, 1983 (dalam Hawadi Dkk) adalah isi pelajaran yang menunjuk pada konsep dan proses kognitif tingkat tinggi, strategi intruksional yang akomodatif dengan gaya belajar anak berbakat dan rencana yang memfasilitasi kinerja siswa.

Kurikulum ini mencakup empat dimensi dan satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Dimensi itu adalah:
� Dimensi Umum
Merupakan kurikulum inti yang memberikan keterampilan dasar pengetahuan, pemahaman, nilai, dan sikap yang memungkinkan siswa dapat berfungsi sesuai dengan tuntutan di masyarakat ataupun tantangan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dimensi umum ini merupakan kurikulum inti yang juga diberikan kepada siswa lain dalam jenjang pendidikan yang sama.

� Dimensi Diferensiasi
Dimensi ini berkaitan dengan ciri khas perkembangan peserta didik yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan luar biasa, yang merupakan program khusus dan pilihan terhadap bidang studi tertentu. Siswa dapat memilih bidang studi yang diminatinya untuk dapat diketahui lebih luas dan mendalam.

� Dimensi Non Akademis
Dimensi ini memberikan kesempatan peserta didik utuk belajar di luar kegiatan sekolah formal melalui media lain seperti radio, televisi, internet, CD-Rom, wawancara pakar,kunjungan ke museum dan sebagainya.

� Dimensi Suasana Belajar
Pengalaman belajar yang dijabarkan dari lingkugan keluarga dan sekolah. Iklim akademis, sistem ganjaran dan hukuman, hubugan antar siswa, hubungan siswa dengan guru, antara guru dengan orang tua siswa, hubungan siswa dengan orang tua merupakan unsur yang menentukan lingkungan belajar.

Pengembangan kurikulum berdiferensiasi untuk program percepatan belajar dapat dilakukan dengan melakukan modifikasi kurikulum nasional dan muatan local dengan cara sebagai berikut:
? Modifikasi alokasi waktu, yang disesuaikan kecepatan belajar bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa ;
? Modifikasi isi/materi, dipilih yang esensial;
? Modifikasi sarana-prasarana, yang disesuaikan dengan karakteristik siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yakni senang menemukan sendiri pengetahuan barul;
? Modifikasi lingkungan belajar yang memungkinkan siswa memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dapat memenuhi kehausan akan pengetahuan;
? Modifikasi pengelolaan kelas, yang memungkinkan siswa dapat bekerja di kelas, baik secara mandiri, berpasangan, maupun kelompok.

Rujukan:
1. Conny R Semiawan dan Djeniah Alim, Petunjuk Layanan Dan Pembinaan Kecerdasan Anak (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 69
2. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. 2003. Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 39-47.
3. Reni Akbar-Hawadi Dkk, Kurikulum Berdiferensiasi, ( Jakarta: Grasindo Widiasarana Indonesia, 2001), hlm.3




Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.kmp-malang.com www.arminaperdana.blogspot.com

Pengertian dan Tujuan Program Akselerasi

Colangelo (dalam Hawadi) menyebutkan bahwa istilah akselerasi menunjuk pada pelayanan yang diberikan (service delivery) dan kurikulum yang disampaikan (curriculum delivery). Sebagai model pelayanan, akselerasi dapat diartikan sebagai model layanan pembelajaran dengan cara lompat kelas, misalnya bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi diberi kesempatan untuk mengikuti pelajaran pada kelas yang lebih tinggi. Sementara itu, model kurikulum, akselerasi berarti mempercepat bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai oleh siswa saat itu sehingga siswa dapat menyelesaikan program studinya lebih awal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis materi pelajaran dengan materi yang esensial dan kurang esensial.

Menurut Sutratinah Tirtonegoro percepatan (acceleration) adalah cara penanganan anak super normal dengan memperbolehkan naik kelas secara meloncat atau menyelesaikan program reguler di dalam jangka waktu yang lebih singkat. Hal senada juga disampaikan oleh Ulya Latifah Lubis (dalam Hawadi) yang mendefinisikan istilah akselerasi sebagai program pelayanan yang diberikan kepada siswa dengan tingkat keberbakatan tinggi agar dapat menyelesaikan masa belajarnya lebih cepat dari siswa yang lain (program reguler).

Siswa yang seharusnya menyelesaikan studi SMP (Sekolah Menengah Pertama) atau SMA (Sekolah Menengah Atas)-nya dalam waktu 3 tahun dapat menyelesaikan materi kurikulum (yang telah didiversifikasi) dalam waktu 2 tahun saja. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa akselerasi adalah program layanan belajar yang diperutukkan bagi mereka yang memiliki kemampuan tinggi supaya dapat menyelesaikan studinya sesuai kecepatan dan kemampuannya.

Program ini secara umum memenuhi kebutuhan peserta didik yang memiliki karakteristik spesifik dari segi perkembangan kognitif dan afektif. Secara khusus memberi pelayanan kepada siswa berbakat untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih cepat dari biasanya.

Tujuan Program Akselerasi
Dengan diselenggarakannya program ini, ada beberapa alasan yang masuk akal.
a. Alasan efisiensi sosial pragmatis penyelenggaraan pendidikan. Karena Negara Indonesia yang sedemikian besar, dengan penduduk amat banyak, dilihat masalah pengembangan sumber daya manusia, tetapi miskin dana untuk pendidikan, maka lebih baik mendayagunakan dana yang sedikit itu secara lebih signifikan untuk memacu anak-anak cerdas agar lahir kelompok elite yang handal untuk memperbaiki kondisi bangsa ini secara lebih cepat, dari pada dana yang sedikit itu dibagi ratakan ke semua anak tetapi dampaknya tidak signifikan.
b. Membuat kelas yang relatif homogen sehingga siswa yang merasa luar biasa (cerdas) tidak dirugikan oleh keterlambatan belajar siswa biasa. Sering dikeluhkan banyak guru, anak-anak cerdas di kelas heterogen cenderung merasa cepat bosan belajar dan cenderung mengganggu. Karena itu, anak-anak cerdas ini perlu mendapat layanan khusus di kelas yang terpisah dari kelas anak biasa. Dengan begitu, pengelolaan kelasnya menjadi lebih mudah.
c. Memberikan penghargaan (reward) dan perlindungan hak asasi untuk belajar lebih cepat sesuai dengan potensinya.
Menurut Nasichin (dalam Hawadi) Ada dua tujuan yang ingin dicapai dengan adanya program akselerasi bagi mereka yang memiliki kemampuan yang lebih, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
� Tujuan Umum
1. Memberikan pelayanan terhadap peserta didik yang memiliki karakteristik khusus dari aspek kognitif dan efektifnya.
2. Memenuhi hak asasinya selaku peserta didik sesuai dengan kebutuhan pendidikan dirinya
3. Memenuhi minat intelektual dan perspektif masa depan peserta didik.
4. Menyiapkan peserta didik menjadi pemimpin masa depan
� Tujuan Khusus
1. Menghargai peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih cepat.
2. Memacu kualitas siswa dalam menigkatkan kecerdasan spiritual, intelektual dan emosional secara berimbang.
3. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran peserta didik.


Rujukan:
1. Reni Akbar-Hawadi (Ed), Akselerasi: A-Z Inforamasi Program Percepatan Belajar. (Jakarta: Grasindo Widiasarana Indonesia, 2004), hlm. 5-6
2. Sutratinah Tirtonegoro, Anak Supernormal dan Prgram Pendidikannya (Yotyakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 104
3. Waras Kamdi, Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak, Kompas Online, 24 dan 26 Juli 2004.





Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com

Jumat, 01 April 2011

Strategi Mewujudkan Budaya Agama di Sekolah

Menurut Tasfir, strategi yang dapat dilakukan oleh para praktisi pendidikan untuk membentuk budaya agama di sekolah, diantaranya melalui: (1) memberikan contoh (teladan); (2) membiasakan hal-hal yang baik; (3) menegakkan disiplin; (4) memberikan motivasi dan dorongan; (5) memberikan hadiah terutama psikologis; (6) menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan); (7) pembudayaan agama yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak. Adapun Hicman dan Silva menyatakan bahwa terdapat tiga langkah untuk mewujudkan budaya, yaitu: commitment, competence dan consistency.

Strategi pengembangan budaya agama dalam komunitas sekolah meminjam teori Koentjoroningrat (1974) tentang wujud kebudayaan meniscayakan adanya upaya pengembangan dalam tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan tataran simbol simbol budaya.

Pada tataran nilai yang di anut, perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di sekolah, untuk selanjutnya dibangun komitmen dan loyalitas bersama diantara semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang disepakati. Nilai-nilai tersebut adalah yang bersifat vertikal dan horisontal. Yang vertikal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan allah (habl min Allah), dan yang horizontal (habl min an-nas), dan hubungan mereka dengan lingkungan alam sekitarnya.

Dalam tataran praktek keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan prilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: pertama, sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan prilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah. Kedua, penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak di sekolah dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang telah disepakati tersebut. Ketiga, pemberian penghargaan terhadap prestasi warga sekolah, seperti guru, tenaga kependidikan dan/atau peserta didik sebagai usaha pembiasaan (habit formation) yang menjunjung sikap dan prilaku yang komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang disepakati.

Penghargaan tidak selalu berarti materi (ekonomik), melainkan juga dalam arti sosial, kultural, psikologik, ataupun lainnya.
Dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol yang agamis. Perubahan simbol dapat dilakukan dengan mengubah model berpakaian dengan prinsip menutup aurat, pemasangan hasil karya peserta didik, foto-foto, dan motto yang mengandung pesan-pesan nilai-nilai keagamaan, dan lain-lain.

Adapun strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di sekolah dapat dilakukan melalui:
a. Power Strategy, yakni strategi pembudayaan agama di sekolah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people�s power, dalam hal ini peran kepala sekolah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan perubahan.
b. Persuasive strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat atau warga sekolah, dan
c. Normative re-educative, norma adalah aturan yang berlaku di masyarakat. Norma termasyarakatkan lewat education. Normative digandengkan dengan re-educative (pendidikan ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berfikir masyarakat sekolah yang lama dengan yang baru.

Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward and punishment. Sedangkan pada strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warganya dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sifat kegiatannya bisa berupa proaksi, yakni membuat aksi yang inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut memberi warna dan arah pada perkembangan. Bisa pula berupa antisipasi, yakni tindakan aktif menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya.

Pengembangan budaya agama dalam komunitas sekolah memiliki landasan yang kokoh baik secara normative religius maupun konstitusional, sehingga tidak ada alasan bagi sekolah untuk mengelak dari upaya tersebut, apalagi di saan bangsa dilanda krisis multidimensional yang intinya terletak pada krisis akhlak/moral. Karena itu, perlu dikembangkan berbagai strategi yang kondusif dan kontekstual dalam pengembangannya, dengan tetap mempertimbangkan secara cermat terhadap dimensi-dimensipluralitas dan multicultural yang menjadi cirri khas bangsa Indonesia, serta mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi sebagai akibat dari upaya pengembangan budaya agama dalam komunitas sekolah.


Rujukan:
1. Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, ( Bandung: Remaja; Rosda Karya, 2004), 112.
2. Hickman dan Silva (dalam Purwanto, Budaya Perusahaan), (Yogyakarta Pustaka Pelajar: 1984), 67.
3. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum Hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009), 326


Dipublikasikan Oleh:

Siti Muawanatul Hasanah, M.Pd

Pendidik di Malang

Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com