Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Bahasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Bahasa. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 Maret 2011

Prinsip Kerjasama Model Grice

Oleh: Nur Arifuddin, M.Pd
Staff Pengajar UIN Malang


Kerjasama Model Grice
Sehubungan dengan adanya perbedaan antara teori SKK dan STT dalam memaknai wacana dengan segala kelebihan dan kekuranagnnya, H. Paul Grice mengusulkan suatu kaidah mengenai penggunaan bahasa. Kaidah ini mencakup peraturan tentang efektifitas dan efesiensi suatu percakapan. Kaidah ini terdiri atas dua pokok kaidah, yaitu (a) prinsip kerjasama dan (b) empat maksim percakapan. Kaidah Grice ini diusulkan pada tahun 1967. Selanjutnya Grice (1975) menegaskan
bahwa dalam semua komunikasi ada persetujuan umum antara penutur dan pendegar yang disebut dengan prinsip kerjasama.

Empat maksim sebagai kaidah untuk mengefektifkan dan mengefisienkan komunikasi yang dikemukakan oleh Grice (dalam Leech, 1983:11-12) adalah sebagai berikut.

1) maksim kuantitas. Berikan jumlah informasi yang tepat, yaitu (a) sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan; (b) sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan.

2) Maksim kualitas. Usahakan agar sumbangan informasi Anda benar, yaitu (a) jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini itu tidak benar; (b) jangan mengatakan sutu bukti yang kebenarannya kurang meyakinkan.

3) Maksim hubungan. Usahakan agar perkataan Anda ada relevansinya.

4) maksim cara. Usahakan agar mudah dimengerti, yaitu (a) hindarilah pernyatan-pernyataan yang samar, (b) hindarilah ketaksaan, (c) usahakan agar ringkas, dan (d) usahakan agar Anda berbicara dengan teratur.

Berpijak pada maksim sebagaimana yang diusulkan oleh Grice tersebut, maka petutur (pendengar atau pembaca) akan berpedoman bahwa penutur dalam berkomunikasi tentunya mengikuti maksim di atas. Apabila ada tanda-tanda bahwa maksim tidak diikuti, maka petutur harus memutuskan bahwa ada sesuatu di balik apa yang dikatakan, dan apabila suatu ucapan mempunyai makna di balik apa yang dikatakan, maka ucapan itu mempunyai implikatur (Soemarmo, 1987; Kartomihardjo, 1992).

Berkaitan dengan perlunya prinsip kerjasama sebagaimana yang diusulkan Grice tersebut, Kempson (1977) mengambil contoh kasus Grice tentang seorang tutor ilmu filsafat yang dimintai referensi oleh seorang mahasiswa yang akan mengikuti kuliah filsafat dari seorang profesor. Tutor tersebut menulis referensi (sebagai persyaratan untuk mengikuti kuliah filsafat) dalam bahasa Inggris sebagai berikut.

(12) Dear Sir, Jones�, Command of English is exellent, and his attendance at tutorials has been regular. Yours faithfully.
Pemberi referensi ini jelas-jelas melangar maksim kuantitas (mungkin juga maksim hubungan). Dia memberi informasi yang kurang lengkap. Akan tetapi, profesor mempunyai pendapat lain, yaitu bahwa mahasiswa yang namanya Jones tersebut tidak memiliki kemampuan yang baik di bidang filsafat.

Demikian pula dalam contoh (6) di atas, ujaran dosen tersebut melanggar maksim, terutama maksim kuantitas. Akan tetapi, mahasiswa memahami implikatur yang dimaksud oleh dosennya. Dia serta merta membuka jendela untuk mengurangi rasa gerah yang ada di ruang kuliah. Dengan menggunakan prinsip kerjasama antara penutur (pembicara atau penulis) dan petutur (pendengar atau pembaca), maka wacana dapat dimaknai secara benar, dan terhindar dari ketaksaan.


Sumber: www.kabar-pendidikan.blogspot.com, www.arminaperdana.blogspot.com, www.kmp-malang.com

Semantik Kondisi Kebenaran

Artikel pendidikan ini berusaha menjelaskan tentang Semantik Kondisi Kebenaran. Diharapkan makalah pendidikan/artikel pendidikan singkat ini memberi pemahaman tentang Semantik Kondisi Kebenaran sehingga memberi referensi tambahan bagi penulis makalah pendidikan atau pegiat penelitian yang bertema Semantik Kondisi Kebenaran
--------------

Semantik Kondisi Kebenaran (SKK)
Teori SKK ini diperkenalkan oleh seorang ahli logika bernama Traski. Sampai sekarang teori ini dipelajari secara meluas oleh para filusuf (Kempson, 1977). Dalam teori ini, Traski mengemukakan sebuah postulat, bahwa makna suatu pernyataan dapat diperikan dengan kondisi kebenaran. Sebuah pernyataan mempunyai arti bila ada kondisi kebenaran yang menjamin kebenaran pernyataan itu. Jika kondisi kebenaran itu tidak ada, maka pernyataan itu tidak bermakna apa-apa (Wahab, 1999a). Dalam melogikan teorinya, Traski menggunakan rumus sebagai berikut.

(1) S benar, jika dan hanya jika P
Di mana S adalah makna kalimat dan P merupakan kondisi yang dapat menjamin kebenaran kalimat itu (Kempson, 1977). Contoh klasik yang dijadikan ilustrasi oleh Traski dalam menjelaskan rumus tersebut adalah:

(2) Snow is white benar, jika dan hanya jika salju itu putih
Kalimat tersebut memiliki kondisi kebenaran makna (truth condition), karena memang salju tersebut hanya berwarna putih, tidak ada salju yang berwarna selain putih. Berbeda dengan kalimat berikut ini.

(3) Kuning itu warna pelangi.
Kalimat (3) tersebut bila dilihat dari �kaca mata� Traski, jelas tidak memiliki kebenaran makna. Hal ini karena kalimat (3) tersebut tidak memiliki kondisi yang menjamin kebenaran pernyataan tersebut. Artinya, bahwa pelangi itu berwarna selain warna kuning, yakni berwarna biru, merah, dan hijau.

Formula atau postulat yang dikemukakan oleh Traski tersebut dianggap masih memiliki kelemahan. Kelemahan pertama berkaitan dengan kondisi yang dipakai untuk menjamin kebenaran suatu pernyataan. Kelemahan kedua terletak pada pendekatan filosofisnya (Wahab, 1999a). Dalam kaitannya dengan kelemahan pertama, postulat Traski ini tampaknya berputar-putar dan memibingungkan, sebab pernyataan aslinya dipakai lagi sebagai kondisi yang menjamin kebenaran pernyataan itu sendiri. Kempson (1977) berpendapat bahwa formula Traski sebagai formula yang sangat menyesatkan.

Sementara itu, kelemahan kedua terletak pada pendekatan Traski yang dipengaruhi oleh aliran positivisme yang menyatakan: Either p or not p model Rudlof Carnaf. Dalam konsep Rudlof Carnaf, pernyataan dianggap bermakna jika ada data sense-nya. Akan tetapi, apabila pernyataan itu tidak dijamin oleh bukti-bukti yang dapat dipersepsi dengan indera, maka pernyatan itu dianggap tidak bermakna (Wahab, 1999a).

Berkaitan dengan kelemahan formula atau postulat kebenaran makna yang dikemukakan oleh Traski tersebut, Kempson (1977) menyempurnakan formula tersebut dengan model formula baru dengan memasukkan batas-batas kondisi wajib (necessary) sehingga kebenaran suatu pernyataan tidaklah harus berupa pengulangan pernyataan itu sendiri (Wahab, 1999a). Formula yang diusulkan oleh Kempson (1977|) tersebut adalah sebagai berikut.
(4) S berarti bahwa p = wajib S benar jika dan hanya p

Contoh pernyataan yang diberikan oleh Kempson dan formula tersebut adalah sebagai berikut.
(5) A boy hurried to his home is true if and only if here is a male child quickly went to the place where he lived.

Contoh yang diberikan oleh Kempson (1977) pada (5) tersebut menegaskan bahwa pernyataan seorang anak laki-laki tergesa-gesa pulang memiliki kebenaran, karena dijamin oleh adanya �seorang laki-laki, kecil (belum dewasa), dan pergi dengan cepat menuju ke suatu rumah tempat dimana dia tinggal�.



--------------
Demikian artikel/makalah tentang Semantik Kondisi Kebenaran. semoga memberi pengertian kepada para pembaca sekalian tentang Semantik Kondisi Kebenaran. Apabila pembaca merasa memerlukan referensi tambahan untuk makalah pendidikan atau penelitian pendidikan anda, tulis permohonan, kritik, sarannya melalui komentar.

Semantik Tindak Tutur

Berikut ini artikel/makalah tentang Semantik Tindak Tutur (STT) . makalah pendidikan/artikel pendidikan singkat ini diharapkan memberi pemahaman tentang  Semantik Tindak Tutur (STT)  sehingga memberi referensi tambahan bagi penulis makalah pendidikan atau pegiat penelitian pendidikan tentang  Semantik Tindak Tutur (STT) .
-------------------------



Semantik Tindak Tutur (STT)
Teori STT pertama kali diperkenalkan oleh Austin, seorang filusuf berkebangsaan Inggris pada tahun 1962. Menurut Austin, kalimat dapat digunakan untuk mengungkapkan berbagai hal, dan setiap ujaran dari suatu kalimat dipengaruhi oleh konteks (Brown dan Yule, 1985). Selanjutnya Austin menegaskan bahwa terdapat banyak hal yang berbeda yang bisa dilakukan dengan kata-kata. Dalam teori ini juga dikemukakan, bahwa meskipun kalimat sering dapat digunakan untuk memberitahukan perihal keadaan, dalam keada`n tertentu, harus dianggap sebagai suatu pelaksanaan tindakan (Leech, 1983). Sependapat dengan Leech, Kartomihardjo (1992) juga berpendapat, bahwa dalam teori tindak tutur, sebuah ujaran bisa diinterpretasikan sebagai pemberitahuan, ucapan kegembiraan, mengingatkan orang yang diajak berbicara tentang janjinya yang terdahulu dan sebagainya. Dengan ungkapan yang lain, Clark and Clark (1977) menyatakan bahwa setiap kalimat dapat digunakan untuk fungsi-fungsi tertentu, misalnya untuk memberikan informasi, peringatan, tawaran untuk melakukan sesuatu, menanyakan fakta, atau memberikan ucapan terima kasih. Pandangannya yang paling dasar dalam teori ini ialah bahwa sebagian ujaran bukanlah pernyataan atau pertanyaan tentang informasi tertentu, tetapi ujaran itu bermakna tindakan (action) (Ibrahim, 1993:103).

Dalam kaitannya dengan teori tindak tutur ini, Austin (1975:109) membedakan tindak tutur menjadi tiga bagian, yaitu: tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Tindak lokusi adalah makna dasar dan referensi dari suatu ujaran, tindak ilokusi berarti daya yang ditimbulkan oleh pemakaianya sebagai suatu perintah, ejekan, keluhan, pujian, dan sebagainya. Sementara itu, tindak perlokusi berarti dampak terhadap pendengarnya (Soemarmo, 1987). Dengan kata lain, tindak lokusi berkaitan dengan makna ujaran sebagaimana yang tersurat dalam ujaran itu sendiri; tindak ilokusi berkaitan dengan tindak melakukan sesuatu dengan maksud tertentu, misalnya pertanyaan, tawaran, janji, perintah, permohonan, dan seterusnya; dan tindak perlokusi berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh ujaran tersebut kepada mitra tutur atau bahkan mungkin kepada petutur itu sendiri.

Selanjutnya, Searle (2001a) membuat katagori tindak ilokusi menjadi lima bentuk tuturan. (1) Asertif, yaitu keterikatan penutur pada proposisi yang diungkapkan, misalnya: menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, dan melaporkan. (2) Direktif, yaitu bentuk tuturan yang bertujuan menghasilkan suatu pengaruh (efek) agar petutur melakukan suatu tindakan, misalnya: memesan, memerintah, memohon, menasehati, dan merekomendasi. (3) Komisif, yaitu bentuk tuturan di mana penutur terikat pada suatu tindakan di masa mendatang, misalnya: menjanjikan, bersumpah, dan menawarkan. (4) Ekspresif, bentuk tuturan ini berkaitan dengan pengungkapan sikap kejiwaan penutur terhadap suatu keadaan, misalnya: mengungkapkan rasa terima kasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, memuji, dan bela sungkawa. (5) Deklarasi, yakni suatu bentuk tuturan yang menghubungkan isi proposisi dengan realita, misalnya: mengundurkan diri, berpasrah, memecat, membabtis, memberi nama, mengangkat, mengucilkan, dan menghukum (Leech, 1983:105�106 dan Searle, 2001a).

Leech (1983) membagi tindak ilokusi menjadi lima katagori, yaitu (1) tindak asertif, (2) direktif, (3) komisif, (4) ekspresif, dan (5) rogatif. Dalam pandangan Leech (1983), tindak rogatif merupakan salah satu tindak yang verbanya tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari keempat katagori di atas, misalnya menamai, mengklasifikasi, memerikan, membatasi, mendefinisikan, mengidentifikasi, mempertalikan, dan menggabungkan.

Berikut ini contoh ujaran seorang dosen (D) kepada mahasiswanya (M) di ruang kuliah yang mengandung tindak tutur.
(6) D: Udaranya panas sekali hari ini!

M: Oh ya pak! (dilanjutkan dengan membuka jendela di ruang kuliah).
Ujaran dosen tersebut dilihat dari daya lokusinya bermakna informatif, yakni dosen memberikan informasi bahwa udara hari ini panas. Oleh salah seorang mahasiswa ujaran dosen tersebut dipahami sebagai suatu ujaran yang mengandung daya ilokusi. Artinya dosen tidak sekedar memberikan informasi tentang udara yang panas, tetapi di balik itu ada maksud yang dikehendaki oleh dosen, yaitu agar jendela di ruang kuliah dibuka sehingga ada udara yang masuk. Pemahaman salah seorang mahasiswa yang dalam terhadap kandungan makna ujaran tersebut membuat dia membuka jendela di ruang kuliah. Tindakan yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswa ini disebut perlokusi.

Teori tindak tutur juga dapat digunakan sebagai pendekatan dalam memaknai teks suci, yakni Al-Qur�an. Perhatikan contoh (7) berikut ini yang dikutip dari surah Al-Baqarah, ayat 219.

?????????????? ???? ????????? ?????????????. ???? ????????? ?????? ???????? ?????????? ?????????, ????????????? ???????? ???? ???????????.

(7) �Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah! pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya�.

Menurut Ash-Shabuni (I, 1976), latar belakang diturunkannya ayat 219 surah Al-Baqarah tersebut adalah ketika para sahabat Anshar bersama Umar bin Khattab mendatangi Rasulullah. Mereka meminta fatwa kepadanya tentang khamar dan judi yang benar-benar telah merusak akal dan dapat �menguras� harta benda. Sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, turunlah ayat 219 yang isinya adalah bahwa baik judi maupun minuman keras ada manfaat dan bahayanya. Akan tetapi, bahayanya atau dosanya lebih besar daripada manfaatnya.

Dari aspek formalnya (tindak lokusi) atau makna semantiknya, ayat tersebut berbentuk deklaratif (kalam khabar). Akan tetapi, maksud yang tersirat (tindak ilokusi) dari ayat tersebut adalah larangan. Wujud perlokusinya adalah memberikan efek kepada manusia agar meninggalkan minuman keras dan judi. Pemberian larangan dalam bentuk tidak langsung sebagaimana tersirat pada ayat 219 surah Al-Baqarah tersebut karena secara sosio-kultural pada saat itu bangsa Arab sangat kecanduan terhadap minuman keras dan judi. Dalam kondisi masyarakat seperti ini, bentuk larangan secara langsung terhadap minuman keras dan judi belum dapat diberlakukan seketika itu. Akan tetapi, harus ada proses atau tahapan, yang dalam terminologi agama disebut prinsip tadarruj. Larangan keras terhadap minuman keras dan judi secara tegas terdapat pada surah Al-Maidah ayat 90, ketika terjadi pertikaian antara dua golongan sahabat Nabi (Muhajirin dan Anshar) karena mereka mabuk setelah minum-minuman keras. Padahal sebelumnya mereka hidup rukun dan damai (Assuyuti, Tanpa tahun).

Contoh lain yang terkait dengan teori tindak tutur terdapat pada contoh (8) berikut ini.
???????????????? ???? ??????????? ?????? ?????? ????? ???????? ???????? ???????????? ????? ????? ????? ??????????????? ???? ?????? ??? ?????????? ?????? ????????????.

(8) �Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (Al-Baqarah, 75)

Penutur (n) pada contoh (8) di atas adalah Tuhan, sedangkan petuturnya (t)-nya adalah Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Secara fungsional, pertanyaan di atas tidak dimaksudkan untuk meminta informasi, melainkan sebagai larangan. Makna yang mendasari fungsi pertanyaan di atas sebagai larangan adalah bahwa contoh (8) di atas dilatarbelakangi oleh harapan yang besar dari Nabi Muhammad dan para sahabatnya (sahabat Ansor) kepada orang-orang Yahudi untuk memeluk agama baru (Islam). Keinginan yang keras ini didasari oleh suatu pemikiran bahwa agama mereka lebih dekat dengan ajaran Islam, baik dari sisi dasar maupun misinya (Al-Maraghi, I, 1365 H dan Al-Qurtubi, 1964).

Selanjutnya Hamka (I, 1982) menegaskan bahwa ayat ini merupakan peringatan Allah kepada Nabi Muhammad dan umatnya, khususnya para sahabatnya, untuk tidak mengharapkan orang-orang Yahudi berbondong-bondong masuk Islam. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Al-Mahally dan As-Suyuti (tanpa tahun), bahwa pertanyaan tersebut adalah lil inkar yakni laa tathmau�u (kamu jangan terlalu berharap). Selanjutnya pada ujung ayat, Tuhan memberikan argumentasi atas larangan-Nya yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Argumentasi yang dimaksud adalah bahwa mereka selalu mengubah isi firman Tuhan setelah memahaminya. Menurut Ibnu Zaid, mereka selalu mengubah isi Taurat, yakni menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, demikian pula yang batil dianggap benar dan yang benar dianggap batil (Ibnu Katsir, tanpa tahun). Menurut tafsir Departemen Agama (I, 1993), yang dimaksud dengan segolongan dari mereka pada contoh (30) di atas adalah nenek moyang mereka.

Kondisi kesesuaian yang memperkuat bahwa pertanyaan pada contoh (8) di atas berfungsi untuk melarang dapat dilacak dari n, t, dan pesan tutur atau Ps. Dari sisi n (Tuhan), terdapat seperangkat kondisi yang menggambarkan bahwa Dia adalah Pemberi wahyu dan tidak memaksa manusia untuk memeluk agama Islam (periksa Al-Baqarah, ayat 256). Di sisi lain, t (Nabi Muhammad dan para sahabatnya) adalah sebagai pelaksana dan pendakwah wahyu n serta mereka hanya bertugas untuk menyampaikan ayat-ayat-Nya. Akan tetapi, di sisi lain, mereka sangat mengharapkan kelompok Yahudi yang selalu mengubah isi Taurat memeluk agama Islam. Ps dalam contoh (8) di atas adalah bahwa n mempertanyakan atau mempersoalkan harapan besar t terhadap kelompok Yahudi untuk memeluk agama Islam. Berpijak dari kondisi kesesuaian inilah, pertanyaan pada contoh (8) di atas dikatagorikan sebagai suatu pertanyaan untuk melarang t agar dia tidak terlalu mengharapkan kelompok Yahudi memeluk agama Islam.

Melalui pertanyaan ini, t tentunya melakukan tindakan tertentu sebagaimana yang dilarang oleh n. Tindakan yang diharapkan adalah agar t menghentikan harapannya kepada orang-orang Yahudi untuk memeluk agama Islam. Tindakan yang dilakukan oleh t merupakan pertanda sebagai wujud tindak perlokusi.
Sebagai perbandingan dengan contoh di atas, perhatikan contoh (9) berikut ini yang dikutip dari Surah Hud, ayat 62.

??????? ???? ???? ?????? ??????? ????????? ?????? ????? ???????????? ???? ???????? ??? ???????? ????????? ?????????? ????? ????? ?????? ??????????? ??????? ???????.

(9) Kaum Tsamud berkata, �Hai Saleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan. Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisakan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami. (Hud, 62).

Pertanyaan pada contoh (9) di atas n-nya adalah kaum Nabi Saleh (kaum Tsamud), sedangkan t-nya adalah Nabi Saleh. Pada ayat sebelumnya (ayat 61) dijelaskan, bahwa Tuhan mengutus Nabi Saleh untuk kaumnya (Kaum Tsamud). Sebagai seorang utusan Tuhan, dia mengajak kaumnya menyembah-Nya sebagai pencipta alam semesta, memohon ampunan, dan bertaubat kepada-Nya. Dalam sejarah dikisahkan, bahwa Kaum Tsamud termasuk kaum penyembah tuhan-tuhan yang diciptakannya sendiri. Di antara sesembahan yang paling dipuja-puja adalah Wad, Jad, Syams, Manaf, Manat, dan Al-Lata (Marhiyanto, 1995).

Ajakan yang disampaikan oleh Nabi Saleh mendapat reaksi negatif dari kaumnya. Artinya, mereka menolak ajakan nabinya untuk menyembah kepada Tuhan. Oleh Al-Qurtubi (1964) dan Ad-Darwis (III, 2002), pertanyaan tersebut dimaksudkan sebagai istifham inkari. Sependapat dengan pernyataan Al-Qurtubi (1964), dalam tafsir Departemen Agama (IV, 1993) dikemukakan, bahwa seruan Nabi Saleh yang demikian baik dan disertai dengan alasan-alasan yang dapat diterima serta dikuatkan dengan janji, bahwa mereka akan mendapat ampunan dari Tuhan ditolak mentah-mentah oleh kaumnya. Penolakan tersebut disampaikan dalam bentuk pertanyaan. Ini berarti, bahwa mereka tetap menyembah apa yang telah disembah oleh bapak-bapak mereka.

Penolakan yang dikemukan oleh n (kaum Tsamud) direaksi balik oleh t (Nabi Saleh) sebagaimana tersebut dalam ayat berikutnya (ayat 63). Inti reaksi baliknya adalah bahwa seruannya adalah seruan yang benar yang disertai dengan bukti-bukti yang nyata dari Tuhannya dan dia diberi rahmat (kenabian) dari-Nya. Reaksi balik Nabi Saleh terhadap pertanyaan kaumnya merupakan wujud tindak perlokusi dari tindak ilokusi yang disampaikan oleh n (kaum Tsamud)
Ayat lain yang pemaknaannya dapat didekati dari sisi semantik tindak tutur adalah ayat 22 surah Al-A�raf sebagaimana pada contoh (10) berikut ini.

??????????? ??????????? ???????? ?????? ??????????? ?????? ??????? ???????????? ????????? ??????????? ??????????? ???? ?????? ?????????? ????? ????? ?????????? ?????? ??????????? ???? ????????? ??????????? ??????? ??????? ????? ?????????? ??????? ??????? ????????

(10) Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: �Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: �Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (Al-A�raf, 22)

Dalam pertanyaan pada ayat 22 surah Al-A�raf di atas n-nya adalah Tuhan, sedangkan t-nya adalah Adam dan Hawa. Pada ayat sebelumnya (ayat 19), Tuhan berpesan kepada Adam dan Hawa untuk tinggal di surga dan memakan buah-buahan yang dikehendaki. Akan tetapi, Tuhan melarang mereka mendekati pohon. Karena bujukan syaitan, keduanya mengabaikan pesan Tuhan dan pada akhirnya mereka memakan �buah� yang terlarang. Menurut Ibnu Abbas, pohon yang dimaksud bernama assunbulah dan ketika keduanya memakan buahnya, maka terbukalah auratnya yang sebelumnya tertutup oleh kukunya (Ibnu Katsir, tanpa tahun). Ahli tafsir lain mengatakan bahwa semula mereka berpakaian yang indah-indah dari pakaian surga dan ada pula yang mengatakan bahwa aurat mereka tertutup oleh cahaya. Oleh karena mereka melanggar pesan Tuhan, maka terbukalah auratnya (Hamka, VIII, 1984). Berkenaan dengan siapa yang pertama kali terpengaruh oleh bujukan Iblis untuk makan buah terlarang, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa yang terpengaruh terlebih dahulu oleh bujukan Iblis adalah Hawa yang kemudiaan menyuruh suaminya memakannya (Departemen Agama, III, 1993).

Sehubungan dengan peristiwa yang menimpa Adam dan Hawa sebagaimana pada contoh (10) di atas, Tuhan bertanya kepada mereka mengenai peristiwa tersebut. Pertanyaan yang disampaikan oleh-Nya bukanlah dimaksudkan untuk meminta informasi mengenai sebab-sebab peristiwa tersebut terjadi. Hal ini beralasan, karena n (Tuhan) dengan pesan yang diberikan sebelumnya sudah mengetahui apa yang akan terjadi. Dengan berdasar pada konteks di atas, pertanyaan pada contoh (10) di atas dimaksudkan oleh n untuk membuktikan bahwa apa yang dipesankan kepada t itu benar adanya (Ad-Darwis, III, 2002). Seandainya t tidak melanggar pesan n, maka peristiwa itu tidak akan terjadi. Kenyataannya peristiwa yang menimpa t itu terjadi karena dia tidak mengindahkan pesan atau perintah n. Dalam terminologi bahasa Jawa, pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk melehake (mengingatkan ulang�secara sinis�bahwa suatu pesan telah disampaikan sebelumnya, tetapi Mt tetap tidak mengindahkannya).

Kondisi kesesuaian yang memperkuat bahwa pertanyaan pada contoh (10) di atas memptnyai fungsi melehake dapat dilacak dari n, t, dan substansi tuturan atau Ps. Dari sisi n terdapat seperangkat kondisi yang menggambarkan bahwa n (Tuhan) pernah berpesan kepada t untuk tidak mendekati pohon terlarang (periksa surah Al-A�raf, ayat 19). Sementara itu, kondisi t (Adam dan Hawa) tetap memakan buah terlarang (tidak mengindahkan pesan n), terbuka auratnya yang sebelumnya selalu tertutup rapat oleh pakaian dari surga, dan dirinya menyesal. Ps dalam contoh (10) adalah pengungkapan ulang n tentang apa yang pernah dipesankan kepada t dan tentang status syaitan sebagai musuhnya. Berpijak dari kondisi kesesuaian inilah, pertanyaan pada contoh (10) di atas dimaksudkan untuk melehake.

Melalui pertanyaan yang dimaksudkan untuk melehake ini, t melakukan tindakan berupa penyesalan atas perbuatannya. Tindakan t (sebagai tindak perlokusi) ini tersebut dalam ayat berikutnya yang terjemahannya (23), �Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi�.

Dari uraian di atas ada satu hal mendasar yang perlu dicatat dari penggolongan tindak tutur ke dalam bentuk-bentuk tuturan menurut para tokoh pragmatik tersebut, yakni bahwa berbagai bentuk tuturan dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Sebaliknya, berbagai maksud dapat disampaikan dengan bentuk tuturan yang sama (Leech, 1983 dan Levinson, 1992). Sependapat dengan hal ini, Rahardi (2000) menyatakan bahwa satu tindak tutur dapat memiliki maksud dan fungsi yang bermacam-macam. Dengan demikian, satu tindak tutur berupa pertanyaan tidak selalu bertujuan untuk meminta informasi, melainkan ada tujuan-tujuan atau fungsi-fungsi lain sesuai dengan konteks yang menyertai tuturan tersebut.


-------------------------
Demikian artikel/makalah tentang  Semantik Tindak Tutur (STT) . semoga memberi pengertian kepada para pembaca sekalian tentang Semantik Tindak Tutur (STT) . Apabila pembaca merasa memerlukan referensi tambahan untuk makalah pendidikan atau penelitian pendidikan anda, tulis permohonan, kritik, sarannya melalui komentar.

Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur

Artikel pendidikan ini berusaha menjelaskan Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur. Diharapkan makalah pendidikan/artikel pendidikan singkat ini memberi pemahaman  Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur sehingga memberi referensi tambahan bagi penulis makalah pendidikan atau pegiat penelitian yang bertema  Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur.
--------------



Semantik Kondisi Kebenaran versus Semantik Tindak Tutur
Ada perbedaan pendapat antara SKK dan STT dalam memaknai wacana atau memaknai bahasa yang benar. Teori SKK dalam memaknai sutu wacana lebih mendasarkan pada pola berpikir logis, faktual, dan lebih didasarkan pada pendekatan dikotomis (salah benar). Pola berpikir yang digunakan lebih mengedepankan pola berpikir Aristotle dengan silogismenya dan pola berpikir kaum empiris. Kaum empiris menegaskan, bahwa ungkapan verbal itu bermakna hanya jika makna ungkapan itu dapat ditemui dalam pengalaman atau dapat diidentifikasi dengan ungkapan-ungkapan yang memiliki kebenaran (Wahab, 1999b).

SKK sebagai suatu teori dalam memberikan makna yang benar terhadap suatu wacana sebagaimana dikemukakan di atas memiliki kelemahan. Dalam hal ini Kempson (1977) sendiri menyatakan bahwa teori semacam ini akan dinyatakan salah, karena teori ini akan membuat prediksi yang salah atau teori ini kurang cukup sebagai teori makna dalam bahasa manusia. Selanjutnya Kempson (1977) menegaskan, bahwa teori SKK ini tidak dapat menjangkau medan makna yang lebih jauh di luar ranah teori makna yang berdasar kebenaran. Banyak kalimat yang tidak dapat dilihat dari sisi teori kondisi kebenaran, misalnya kalimat tanya, kalimat perintah, maupun ujaran-ujaran performatif. Bahkan kalau dikatakan bahwa teori SKK ini hanya cocok untuk kalimat deklaratif juga tidak seluruhnya benar, karena ada kalimat deklaratif yang pada hakikatnya bukan bermakna deklaratif, tetapi boleh jadi bermakna perintah, larangan, penyesalan, atau bermakna permohonan.

Bagaimana halnya dengan teori STT? Teori ini tampaknya dapat menjelaskan makna wacana yang tidak dapat dijelaskan oleh teori SKK. Contoh (6) sampai contoh (10) di atas, tampaknya lebih akurat jika didekati dengan teori STT daripada teori SKK. Meskipun demikian, teori STT dalam memaknai suatu wacana juga memiliki kelemahan. Di antara kelemahannya adalah bahwa teori |STT ini terbentur pada masalah ketaksaan (fenomena kebahasaan yang dapat ditafsirkan lebih dari satu). Artinya teori STT tidak mampu memberikan kepastian makna suatu wacana yang taksa.
Berikut ini kalimat taksa yang dikutip dari Kempson (1977).
(11) Ada empat banteng besar di ladang

Kalimat (11) tersebut adalah kalimat taksa. Ada kemungkinan dapat dipakai (a) sebagai peringatan bagi pejalan kaki yang akan melintasi pagar, (b) sebagai suatu bualan bagi sesama peternak, (c) sebagai suatu ancaman bagi anak yang rewel, dan (d) sebagai suatu pernyataan bagi penjaga ternak yang baru bekerja, bahwa di ladang tersebut memang benar-benar ada empat banteng besar. Dengan demikian, teori STT tidak mampu memberikan kepastian makna dari suatu kalimat yang taksa.

Kelemahan berikutnya adalah bahwa teori STT bertentangan dengan gagasan yang dikemukakan sendiri. Artinya bahwa teori STT ini mengandung unsur lokusi sebagai salah satu unstr dalam sistem teori STT. Hal ini tampak pada cara pemaknaan yang dilakukan oleh teori STT yang kurang memperhatikan bentuk atau struktur kalimat atau wacana yang disebut sebagai lokusi, tetapi lebih memperhatikan makna di balik struktur kalimat yang disebut ilokusi dan perlokusi. Selain itu, kelemahan yang terdapat pada teori STT adalah bahwa STT terperosok ke dalam bentuk bebas makna yang sudah barang tentu bertentangan dengan dunia realita. Artinya tidak ada konsistensi antara bentuk dan substansi.


--------------
Demikian artikel/makalah tentang  Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur . semoga memberi pengertian kepada para pembaca sekalian  Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur . Apabila pembaca merasa memerlukan referensi tambahan untuk makalah pendidikan atau penelitian pendidikan anda, tulis permohonan, kritik, sarannya melalui komentar.

Konsep Medan Leksikal atau Medan Makna

Artikel pendidikan ini berusaha menjelaskan tentang  Konsep Medan Leksikal atau Medan Makna. Diharapkan makalah pendidikan/artikel pendidikan singkat ini memberi pemahaman tentang  Konsep Medan Leksikal atau Medan Makna sehingga memberi referensi tambahan bagi penulis makalah pendidikan atau pegiat penelitian yang bertema  Konsep Medan Leksikal atau Medan Makna.
-------------


Medan Makna
Konsep medan leksikal atau medan makna atau ranah makna merupakan padanan konsep wortfeld yang dikemukakan oleh Trier (1931) atau semantic field oleh Lounsbury (1956) atau lexical field oleh Coseriu (1967), Lehrer (1974), dan Lyons (1977), atau semantic domain oleh Nida (1975) (Wedhawati, 1999). Istilah teori medan makna atau theory of semantic field berkaitan dengan teori bahwa perbendaharaan kata dalam suatu bahasa memeiliki medan struktur, baik secara leksikal maupun konseptual (Aminuddin, 2003).

Menurut Umar (1982), medan makna (al-haqlu ad-dilali) mdrupakan seperangkat atau kumpulan kata yang maknanya saling berkaitan. Dalam teori ini ditegaskan, bahwa agar kita memahami makna suatu kata, maka kita harus memahami pula sekumpulan kosa kota yang maknanya berhubungan (Umar, 1982). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Kridalaksana (1984), bahwa medan makna merupakan domain semantik. Ia merupakan bagian dari sistem bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kehidupan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Contoh: nama warna membentuk medan makna tertentu, begitu pula nama perabot rumah tangga, resep makanan dan minuman, peristilahan penerbangan, dst. de Saussure sebagaimana dikutip oleh Wedhawati (1999) menyatakan bahwa stiap butir leksikal terlibat dalam jaringan asosiasi yang menghubungkannya dengan butir leksikal lain berdasarkan kesamaan maknanya atau berdasarkan kesamaan bentuk dan maknanya.

Dalam kaitannya dengan medan makna ini, para pencetus teori ini, Lyon misalnya berpendapat, bahwa (a) setiap butir leksikal hanya ada pada satu medan makna, (b) tidak ada butir leksikal yang tidak menjadi anggota pada medan makna tertentu, (c) tidak ada alasan untuk mengabaikan konteks, dan (d) ketidakmungkinan kajian terhadap kosa kata terlepas dari struktur (Umar, 1982). Trier (1931) sebagaimana dikutip oleh Wedhawati (1999) menegaskan bahwa nilai sebuah kata hanya dapat diidentifikasi jika nilai itu dihadapkan pada nilai kata-kata yang bertetangga dan berlawanan. Hanya sebagai unsur dari keutuhannya sebuah kata mempunyai makna, sebab hanya di dalam medan kita jumpai makna.

Dalam bahasa Arab, kata alwan mempunyai sederetan kata yang maknanya berhubungan, yaitu ahmar �merah�, azraq �biru�, ashfar �kuning�, ahdlar �hijau�, dan abyadl �putih�. Kita juga mengenal istilah kekerabatan dalam bahasa Indonesia, misalnya anak, cucu, cicit. piut, bapak/ayah, ibu, kakek, nenek, moyang, buyut, paman, bibi, saudara, kakak, adik, sepupu, kemenakan, istri, suami, ipar, mertua, menantu, dan besan (Chaer, 2002).
Secara rinci Umar (1982) mengidentifikasi kosa kata yang berada pada satu medan makna sebagai berikut ini.

1- ????? ??? � ????? � ???? �????? ???? ??? ???? ...
2- ??? � ???? � ?? ...
3- ???? � ??? � ????? ...
4- ?? � ??? � ???? ...
5- ????? � ???? � ????? � ???? � ???? � ??? ...
6- ??? � ??? ...
7- ???? � ??? � ??? ...
8- ??? � ????? � ??? ...
9- ??? � ??? � ??? � ??? ...
10- ????? � ???? � ???? � ??? ...
11- ??? � ???? ...
12- ??? � ???? � ???? � ????? � ??? ...
13- ??? � ??? � ???? � ???? ...
14- ?? � ?? � ?? � ??? ...
15- ??? � ???? � ???? � ???? � ???? ...
16- ??? � ???? � ????? ...
17- ??? � ????? �??? � ??? ...
18- ???? � ???? � ???? � ??? � ??? ...
19- ???? � ??? � ????
20- ??? � ??? � ??? � ???? � ???? ...
21- ????? � ????? � ???? ...
22- ??? � ???? � ??? � ???? ...
23- ???? � ???? � ??? � ????? ...
24- ???? � ???? � ??? ...
25- ???? � ??? ...

Kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat dilihat hubungannya melalui tinjauan/relasi sintagmatik dan paradigmatik. Yang dimaksud dengan sintagmatik adalah hubungan linier antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu. Hubungan itu dikatakan hubungan in praesentia (Kridalaksana, 1984). Istilah lain dari hubungan sintagmatik adalah kolokasi. Kata kolokasi berasal dari bahasa Latin colloco yang berarti ada di tempat yang sama dengan) dengan menunjuk kepada hubungan sintagmatik. Artinya, kata-kata tersebut berada dalam satu kolokasi atau satu tempat atau lingkungan (Chaer, 2002).

Selanjutnya Chaer (2002) memberikan contoh Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam bagai, lalu perahu itu digulung ombak, dan tenggelam beserta isinya. Kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak, dan tenggelam merupakan kata-kata dalam satu kolokasi. Kolokasi berarti asosiasi hubungan makna kata yang satu dengan yang lain yang masing-masingnya memiliki hubungan ciri yang relative tetap, misalnya kata pandangan berhubunungan dengan mata, bibir dengan senyum, serta kata menyalak memiliki hubungan dengan anjing (Aminuddin, 2003).

Berkaitan dengan hubungan sintagmatik ini (al-huqul as-sintajmatiyyah) ini, Umar (1982) memberikan contoh-contoh berikut.
??? � ????.
??? � ????.
??? � ????.
???? � ????.
???? � ???.
????? � ?????.
??? � ???.
???? � ???.
???? � ???.

Sementara itu, yang dimaksud dengan hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu dengan unsur-unsur lain di luar tataran itu yang dapat dipertukarkan; misal dalam kalimat Kami bermain bola antara kami dengan orang itu, saya, dsb. dan antara bermain dengan menyepak, mengambil, dsb. Hubungan antara unsur-unsur itu dikatakan hubungan in absentia (Kridalaksana, 1984). Dalam hal ini, Aminuddin (2003) memberikan contoh kalimat Menjelang pagi, perut saya lapar sekali, untung ada (----). Garis dalam kurung itu dapat diisi roti, nasi, tempe goreng, tahu, dan sebagainya. Kata-kata tersebut dan sekian lagi kata yang lainnya dapat diisikan di dalamnya karena kata-kata tersebut menunjuk acuan referen �dapat dimakan� sehingga mampu menanggulangi lapar. Istilah lain yang semakna dengan hubungan paradigmatik ini adalah golongan set. Yakni kata-kata atau unsur-unsur yang berada dalam satu set dapat saling menggantikan (Chaer, 2002).
Selanjutnya Chaer (2002) menegaskan bahwa suatu set biasanya berupa sekelompok unsur leksikal dari kelas yang sama yang tampaknya merupakan satu kesatuan.

Dalam bahasa Arab, hubungan paradigmatik dapat kita lihat pada kalimat berikut ini.
1- (???? ????) ????
(????)
(???)

2- ???? ???? (????)
( ?????)
(?????)
(???????)
3- ( ????) ??? ?????
(????)
(???)

4- (????) ???? ??? ?????? ??? ?????
(?????)
(????)
(????)




--------------
Demikian artikel/makalah tentang Konsep Medan Leksikal atau Medan Makna. semoga memberi pengertian kepada para pembaca sekalian tentang  Konsep Medan Leksikal atau Medan Makna. Apabila pembaca merasa memerlukan referensi tambahan untuk makalah pendidikan atau penelitian pendidikan anda, tulis permohonan, kritik, sarannya melalui komentar.